Salin Artikel

Mimpi Generasi Milenial di Sorong

SORONG sedang booming. Dengan pertumbuhan PDB sebesar 9,3 persen pada 2016 atau hampir dua kali lipat dari rata-rata PDB nasional, serta berada di titik paling barat Papua, kota berpenduduk 300.000 jiwa ini dengan cepat menjadi pusat transportasi dan logistik regional.

Kemajuannya didorong oleh letak geografisnya yang dekat dengan pulau-pulau Raja Ampat yang terkenal, dan burung cendrawasihnya yang sudah sulit ditemukan.

Namun, Sorong bukanlah kota dengan pemandangan indah. Sebenarnya, kota ini terasa seolah muncul dari semak belukar—kawasan urban yang terbentang beberapa kilometer ke pedalaman dan jauh dari tepi laut yang telah ramai aktivitasnya.

Saat menghabiskan waktu di Papua baru-baru ini, saya sangat penasaran bagaimana generasi anak muda atau kalangan milenial di sana melihat masa depan mereka.

Apakah mereka optimistis? Apakah mereka melihat adanya bandara baru, pelabuhan, dan terbangunnya jalan Trans Papua sebagai pertanda masa depan yang lebih sejahtera?

Bagaimana hubungan antara masyarakat asli Papua dengan masyarakat pendatang, seperti orang Bugis, Jawa dan Minahasa di sana?

Cerita tiga mahasiswi

Saya bertemu dengan tiga mahasiswi berusia 18 tahun yang bernama Maria Hestina, Maria Korwa dan Mega Imbiri. Ketiganya sedang menjalani pendidikan di salah satu universitas terbesar di kota itu, Universitas Muhammadiyah Sorong.

Latar belakang Maria Hestina tidaklah biasa. Dia berasal dari keluarga transmigran Flores, Nusa Tenggara Timur.

Orang tuanya yang telah bercerai hidup seadanya. Ayahnya adalah seorang buruh, sedangkan ibunya menjual bensin dan buah-buahan di pasar.

Maria Hestina dan saudara perempuannya tinggal bersama ibunya, sementara adik laki-lakinya tinggal bersama ayahnya.

"Sebagai anak paling tua dari tiga bersaudara, dan anak pertama yang sudah kuliah, ada banyak sekali harapan yang disematkan pada saya. Adik perempuan saya berumur 12 tahun, dan adik laki-laki saya baru berumur 7 tahun. Saya harus memberi contoh yang baik untuk mereka," tuturnya.

Sementara itu, keluarga Maria Korwa telah tinggal di Papua selama beberapa generasi. Maria Korwa datang dari keluarga berbeda agama. Ayahnya beragama Islam, sedangkan ibunya pemeluk Kristen.

Seperti halnya kelaziman di Indonesia, saudara laki-laki Maria Korwa beragama Islam, sementara dia dan saudara perempuannya beragama Kristen.

"Seluruh keluarga saya tersebar di seluruh Indonesia. Saya memiliki enam saudara kandung, dua di Jakarta, dua di Raja Ampat, satu di Pulau Doom, dan satu lagi di Manokwari. Ini menyenangkan karena saya tahu, kemana pun saya pergi, saya punya seseorang yang dapat saya andalkan. Suatu hari nanti, saya juga akan membuat jalan hidup sendiri," ujar Maria Korwa.

Mega Imbiri adalah anak perempuan dari seorang nelayan dan ibu rumah tangga yang keduanya merupakan penduduk asli Papua.

"Ayah saya harus pergi ke laut setiap hari dan kadang-kadang kembali dengan hasil tangkapan ikan yang sangat sedikit. Ayah saya harus berani menembus hujan, menghadang ombak, dan lautan. Saat kecil, saya sering memegang kedua tangannya yang terasa kasar," Mega Imbiri bercerita dengan lancarnya.

Tapi dia tak ingin mengikuti jejak orang tuanya. Mega Imbiri bercita-cita menjadi pekerja kantoran.

"Saya membayangkan diri saya meninggalkan rumah jam 8 pagi dengan pakaian yang rapi dan pulang pada pukul 4 sore untuk kembali bertemu keluarga saya. Itulah hidup yang saya inginkan," dia mengungkapkan.

Sorong yang berubah

Papua telah lama dianggap sebagai daerah yang paling memiliki banyak masalah di Indonesia

Namun, Sorong yang berada di "ujung" pulau itu, telah banyak berhasil lolos dari berbagai gejolak dalam negeri. Kota ini bahkan mendapat banyak manfaat dari fokus pemerintahan saat ini yang terus memperkuat hubungan transportasi dengan wilayah-wilayah lainnya.

Hal ini menciptakan “dorongan” lebih dari sekadar ingin menyetarakan Sorong dengan Timika, kota utama Papua yang memiliki tambang Grasberg. Kita tahu, tambang ini memiliki kandungan emas terbesar di dunia dan tembaganya terbesar kedua, yang dikelola perusahaan tambang Amerika Serikat, Freeport-McMoran.

Ketiga perempuan muda ini menghadirkan sebuah "putaran" positif di wilayah Indonesia Timur. Keberagaman agama yang mereka anut sangatlah luar biasa: Maria Hestina menganut Katolik, Maria Korwa Kristen Pentakosta, dan Mega Imbiri Kristen Protestan.

Maria Hestina merupakan generasi transmigran pertama, sementara Maria Korwa dan Mega Imbiri orang asli Papua. Ketiganya saling bersahabat. Mereka bersama-sama menjual tas di sebuah stan acara Natal di Mal Ramayana, Sorong.

Mereka semua juga kuliah di jurusan yang sama, berjuang meraih gelar Sarjana Administrasi Publik. Mereka dipertemukan bersama di sebuah universitas yang didirikan oleh organisasi Islam terbesar kedua di negeri ini, Muhammadiyah.

Maria Korwa tanpa ragu menjelaskan masalah-masalah yang sering terjadi di daerahnya

"Di Sorong ini banyak kriminalitas. Setiap hari ada perampokan karena banyak pecandu alkolhol dan obat-obatan, seperti mengendus lem yang kini banyak dilakukan para remaja di sini," tuturnya.

Maria Hestina menambahkan, "Sekitar 2005-2006, pasokan air sangat kurang dan sering terjadi pemadaman listrik. Saat ini sudah lebih baik, tapi tetap masih banyak yang harus diperbaiki."

"Harga minyak tanah juga naik. Sekarang Rp 5.000 per liter. Saya tahu karena ibu saya menjual bahan bakar minyak. Orang-orang masih susah belinya."

Mega Imbiri juga mengutarakan pendapatnya, "Pembangunan di Papua sulit. Daerahnya berbukit dan berhutan lebat. Butuh waktu bertahun-tahun sebelum dapat melihat hasilnya. Yang membuat saya sangat senang adalah Pak Jokowi telah memberikan perhatiannya pada Papua. Pak Jokowi mengunjungi pulau ini lebih sering dari pada presiden-presiden sebelumnya.”

Kedua temannya pun mengangguk setuju. Inisiatif pemerintah pusat kini sudah mulai memberikan hasil.

Pendidikan gratis

Maria Hestina menuturkan di bawah pemerintahan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Jokowi, biaya untuk pendidikan sekolah dasar dan menengah sudah digratiskan.

Pada 20 Desember lalu, pemerintah juga mengumumkan rencana untuk mengaliri listrik ke seluruh Papua serta membangun jalan-jalan baru.

"Tujuan hidup saya menjadi pegawai negeri sipil. Saya ingin ikut berperan dalam mengembangkan lingkungan tempat tinggal saya," kata Maria Korwa.

"Saya juga!" teriak Mega Imbiri, yang kemudian dengan malu-malu menambahkan, "Itu pekerjaan yang sangat bagus..."

Maria Hestina pun tertawa mendengar celotehan kedua temannya
"Kalian semua bisa melayani pemerintah! Tetapi saya ingin memiliki bisnis sendiri dan menyediakan barang-barang kebutuhan orang dengan harga terjangkau. Ada banyak cara untuk ikut berkontribusi!" kata Maria Hestina.

Ketiganya pun tertawa terbahak-bahak.

Jadi, sementara dua provinsi yakni Papua dan Papua Barat masih terus memperlihatkan tantangan bagi persatuan dan stabilitas Indonesia, intensitas fokus pada pertumbuhan ekonomi kini telah memberi manfaat nyata bagi masyarakat di sana.

Transformasi inilah yang mungkin menjadi kunci pengikat pulau Papua ke Indonesia.

Harus diakui ini adalah suatu hal yang sangat positif, melihat bahwa fokus pemerintahan dalam mengatasi berbagai keluhan terkait ekonomi saat ini, telah memberikan dampak.

Namun, apakah itu cukup?

https://regional.kompas.com/read/2018/01/03/21403741/mimpi-generasi-milenial-di-sorong

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke