Salin Artikel

Tak Punya Pelatih, Anak-anak di Pedalaman Kalteng Berguru pada YouTube

Tarian itu menggambarkan hubungan antara kehidupan saat ini dengan kehidupan leluhur yang membangkitkan suka cita dan ungkapan syukur pada Tuhan Maha Esa.

"Karenanya dalam tiap gerakannya ada kelembutan, tegas, dan indah," kata Sherly Handayani, 17 tahun, pelajar kelas 3 SMA Negeri di Kecamatan Danau Sembuluh, Kabupaten Seruyan, Kalimantan Tengah, Sabtu (16/12/2017).

Nenjang Sapundu ditarikan secara berkelompok. Gerak tangan melambai seperti kepak sayap tampak dominan, juga langkah-langkah kaki kadang menghentak, bahkan ada di sebuah sesi menari sambil telentang di atas tanah berpasir.

Mahkota janur kuning di kepala tiap penari membuat kesan penampilan mereka jadi sangat kuat.

Kelincahan Sherly dan kawan-kawannya menarikan Nenjang Sapundu ternyata bukan berkat belajar dari pelatih profesional melainkan dari YouTube.

"Latihan sendiri. (Semua) belajar dari Youtube," kata Sherly seraya mengatakan menari belum menjadi kegiatan ekstra sekolah.

Bakat menari Sherly semakin terasah ketika ia menerima undangan Dinas Pariwisata untuk menari di Kota Palangkara.

"Saya pernah belajar 1 minggu di sanggar di Palangkaraya," kata Sherly.

Sherly kemudian mengembangkan menari itu dengan mengajak pelajar sebayanya. Dengan begitu, menari kesenian daerah tidak putus di generasinya saja.

Ia juga berharap setelah lulus nanti tetap menari dan memiliki sanggar di desanya.

"Saya ingin belajar komputer setelah lulus, tapi ingin tetap menari dan ada sanggar di sini nanti," kata Sherly.

Namun, ia menyadari Kecamatan Danau Sembuluh merupakan salah satu daerah terpencil di Kalteng. Jaraknya memang 130-an kilometer dari Kota Sampit.

Kecamatan dengan 8 desa di dalamnya ini berada di balik perkebunan kelapa sawit yang begitu luas.

Masuk ke kecamatan itu, siapapun harus melewati jalanan tanah berlumpur dan berdebu. Cukup sulit dan kerap membuat jerih siapa pun masuk hingga ke sana.

Kondisi medan kerap mempengaruhi kegiatan dan kemajuan desa-desa di dalamnya


Otodidak

Tarian ini bukan barang baru bagi mereka. Cukup berlatih 1 minggu, Sherly dan kawan-kawannya sudah siap tampil kompak.

Mereka, dengan bantuan guru-guru, menyewa pakaian adat seharga Rp 100.000 per orang untuk menari nanti.

Selebihnya, properti menari dibikin sendiri, seperti: mahkota kepala dari jalinan janur kuning. "Kami sampai tidak tidur. Kami bikin dari jam 3 pagi," kata Sherly.

Juga properti lain, misal tatoo khas Dayak pada kaki, tangan, juga wajah. Tatoo temporary itu digambar dengan spidol permanen pada kedua lengan hingga pipi.

Setiap gambar itu sejatinya perlambang citra, penghargaan, kasih sayang dan bentuk bakti atas nenek moyang mereka yang sarat dengan aura mistis dan ghaib.

Sherly bersama beberapa pelajar sebayanya sering dipanggil untuk tampil mengisi hajatan dan penyambutan tamu.

https://regional.kompas.com/read/2017/12/17/17105421/tak-punya-pelatih-anak-anak-di-pedalaman-kalteng-berguru-pada-youtube

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke