Salin Artikel

Buddha, Dharma, dan Cinta Kasih

Namo sanghyang adi buddhaya
(Terpujilah Tuhan yang Maha Esa)
Namo tassa bhagavato arahato sammasambuddhassa
(Terpujilah para Buddha yang Maha Suci yang telah mencapai pencerahan sempurna)
Sabhe satta bhavantu sukhitatta
(Semoga semua makhluk hidup berbahagia)

ITULAH doa yang dilantunkan Bhikkhu Badraphalo secara syahdu pada suatu siang di dharmadhatu atau lantai puncak Candi Borobudur. Setiap pagi dan sore, Bhikkhu Badraphalo selalu beribadah disertai meditasi di Vihara Jina Dharma Sradha Gunung Kidul.

Namun, pada hari-hari uposatha atau hari puasa agama Buddha, bhikku yang berusia 37 tahun ini bersembahyang di Candi Borobudur, mengirimkan doa-doa untuk kebaikan umat manusia.

Candi berbentuk stupa yang terletak di Magelang, Yogyakarta, Jawa Tengah ini memang dibangun oleh para penganut ajaran Buddha Mahayana pada masa pemerintahan Dinasti Syailendra di sekitar abad ke-8 untuk peribadahan.

“Candi ini maknanya satu, yaitu kehidupan kita menuju pada Adi-Buddha. Kehidupan kita pada kesempurnaan hidup, yang menjunjung nilai-nilai kemanusiaan dan keberadaban sebagai manusia yang sempurna,” tutur Bhikkhu Badraphalo ketika ditemui Tim Ceritalah ASEAN di Candi Borobudur.

Agama Buddha adalah agama yang ajarannya ditemukan dan diajarkan oleh Siddhartha Gautama setelah dia mencapai “Pencerahan Sempurna” atau “Penyadaran Penuh” yang kemudian membuatnya disebut sebagai “Sang Buddha”.

Kata “Buddha” sendiri berarti “telah sadar”, atau “yang telah terjaga”, atau “yang telah cerah”. Berbagai literatur menuliskan, selama 45 tahun Sang Buddha mengajarkan prinsip-prinsip “Dharma” atau “Kebenaran” dengan mengedepankan “cinta kasih” dan “kebijaksanaan”.

Masuknya agama Buddha ke Indonesia terjadi pada abad-abad awal atau saat dimulainya perdagangan melalui jalur laut. Di zaman Srivijaya (Sriwijaya) pada abad ke-7, Kerajaan Sriwijaya di Suvarnadvipa (Sumatera) merupakan asal mula peranan kehidupan agama Buddha di Indonesia.

Sejarah bahkan menuliskan, Kerajaan Sriwijaya pernah menjadi salah satu pusat pengembangan agama Buddha di Asia Tenggara. Selain kerajaan Sriwijaya, masih banyak kerajaan-kerajaan lain yang bercorak Buddha di Indonesia, seperti kerajaan Tarumanegara, atau Mataram kuno.

Semua kerajaan itu berperan dalam proses perkembangan agama Buddha di Indonesia. Pengaruh India sangat terasa pada masa kerajaan-kerajaan itu.

Di Jawa Tengah juga berdiri kerajaan Buddha yaitu kerajaan Syailendra. Meskipun tidak sebesar kerajaan Sriwijaya, kerajaan ini meninggalkan beberapa peninggalan penting yaitu candi-candi Buddha yang masih berdiri hingga sekarang, salah satunya adalah Candi Borobudur.

Maka tak heran jika sebagian besar penganut agama Buddha di Indonesia berada di Pulau Sumatera dan Pulau Jawa. Candi Borobudur merupakan cerminan kejayaan agama Buddha di masa lampau.

Dia telah menjadi warisan kebudayaan bangsa Indonesia yang sangat dibanggakan. Pada periode 1975 hingga 1982, pemerintah dibantu dengan UNESCO melakukan pemugaran besar-besaran pada candi yang berdekatan dengan Gunung Merapi dan Gunung Merbabu ini.

Atas upaya pemerintah Indonesia, monumen suci tempat berziarah untuk memuliakan Buddha ini pernah menjadi salah satu dari tujuh keajaiban dunia. Saat ini, Candi Borobudur yang tak pernah sepi dari kunjungan wisatawan, masuk dalam daftar Situs Warisan Dunia.

Agama Buddha sendiri mengajarkan bahwa cinta kasih adalah kebutuhan dasar manusia dan bersifat universal. Dia tidak terbatas hanya untuk orang-orang tertentu, tidak memandang latar belakang seseorang, dan tidak mengharapkan timbal balik.

“Artinya, segenap alam dan mahluk hidup yang ada di dunia ini harus kita cintai. Sebab, mereka juga membutuhkan kehidupan dan kebahagiaan. Cinta kasih itu harus ditumbuhkan dengan motivasi yang benar,” ujar Bhikkhu Badraphalo.

Surahman (34), seorang penganut ajaran Buddha mengatakan, ada dua ajaran Buddha yang menarik baginya, yakni cinta kasih dan kebijaksanaan. Dia mengibaratkan dua ajaran itu sebagai “sayap”. “Tanpa dua “sayap” itu agama Buddha tidak mungkin sempurna,” katanya.

Pada hari Minggu setiap ada kegiatan ibadah, ayah satu anak ini, mengunjungi Vihara Giriloka Kulon Progo.

Kemudian, setiap Senin malam, Surahman yang bekerja sebagai pegawai negeri sipil di Kantor Wilayah Kementerian Agama Daerah Istimewa Yogyakarta bersama warga lainnya mengadakan ibadah bergilir di rumah warga.

Sang Buddha mengajarkan pada umatnya bahwa jika “Dharma” diterapkan secara benar maka kehidupanya akan menjadi lebih baik dari sebelumnya. Dia juga akan menjadi dewasa secara spiritual sehingga mampu mengatasi penderitaan diri sendiri maupun orang lain.

Di dalam kehidupannya sehari-hari, Surahman yang asli dari Kulon Progo-- sekitar satu jam dari Candi Borobudur—ini menerapkan ajaran Buddha untuk mendapatkan kedamaian. Dia juga menanamkan nilai-nilai ajaran Buddha pada anak dan istrinya.

Meski tinggal di lingkungan keluarga dan rumah dengan beragam agama, yakni ada Islam dan Kristen, Surahman mengaku tidak ada hambatan dalam menjalankan keyakinannya. “Kami bisa hidup secara berdampingan dan damai,” tuturnya.

“Kuncinya adalah menghormati perbedaan dan menjunjung tinggi toleransi,” kata Surahman.

Sikap toleransi yang dijalankan Surahman merupakan salah satu cerminan dari pengamalan sila pertama Pancasila, yakni “Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Sila ini memiliki makna bahwa bangsa Indonesia menjunjung sikap saling menghormati, bekerja sama, dan tidak memaksakan suatu agama atau kepercayaan kepada orang lain.

Dengan dasar inilah Indonesia yang mengakui keberadaan enam agama—Islam, Protestan, Katolik, Buddha, Hindu dan Konghucu--menjadi sebuah negara pluralism yang kuat.

https://regional.kompas.com/read/2017/11/09/11181311/buddha-dharma-dan-cinta-kasih

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke