Salin Artikel

Aceh Bebas Talasemia Bukanlah Mimpi (2)

Begitu tak populernya talasemia di Aceh sehingga banyak warga tak pernah berpikir kalau siapa saja bisa menyandang penyakit ini.

(Baca selengkapnya: Menghalau Talasemia dari Aceh, antara Takhayul dan Medis (1))

Talasemia adalah penyakit kelainan darah yang ditandai dengan kondisi sel darah merah yang rusak atau umurnya lebih pendek dari sel darah normal yang mencapai 120 hari.

Akibatnya, penderita talasemia akan mengalami gejala anemia seperti pusing, muka pucat, badan lemas, susah tidur, nafsu makan hilang dan infeksi berulang.

Ketua Pengurus Orangtua Penyandang Thalassemia Indonesia (POPTI) Cabang Aceh, dr Heru Noviat SpA, mengatakan, talasemia merupakan penyakit yang diturunkan oleh kedua orangtua yang membawa sifat talasemia.

Dokter spesialis anak yang menangani pasien talasemia di Rumah Sakit Umum Zainal Abidin (RSUZA) Banda Aceh ini menambahkan, penyakit ini tidak menular dan belum ditemukan obatnya.

Menurut hasil survei Kementerian Kesehatan tahun 2010, Aceh merupakan salah satu provinsi dengan angka suspect talasemia tertinggi di Indonesia. Persentasenya mencapai 13,8 persen atau 13 orang dari setiap 100 penduduk Aceh adalah penderita talasemia.

Indonesia sendiri berada pada sabuk talasemia. Sebanyak 6–10 orang dari setiap 100 orang Indonesia membawa gen penyakit ini.

Di Aceh, ujar Heru, talasemia ibarat gunung es. Faktanya, meski gen kelainan darah ini tersimpan dalam banyak tubuh penduduk Aceh, saat ini baru 315 penderita talasemia yang tercatat melakukan pengobatan rutin di Rumah Sakit Zainal Abidin  Banda Aceh.

“Ini terjadi karena minimnya pengetahuan tentang talasemia di masyarakat,” ungkap Heru.

Lembaga pendamping para penyandang talasemia di Banda Aceh, Yayasan Darah Untuk Aceh (YDUA), menyebutkan saat ini masyarakat banyak yang masih percaya mitos bahwa talasemia merupakan penyakit kutukan yang harus meminta tumbal dan bisa disembuhkan oleh dukun atau dengan meminum ramuan dari dedaunan.

Akibatnya, banyak orangtua yang enggan membawa anak-anak mereka yang menyandang talasemia ke rumah sakit.

Karena itu, sosialisasi kepada masyarakat bahwa talasemia adalah penyakit keturunan mutlak dilakukan agar tidak terjadi peningkatan jumlah penderita.

“Karena sampai sekarang, penyakit ini hanya bisa dicegah dengan tidak mempertemukan carrier (pembawa sifat) talasemia dengan carrier talasemia," kata pendiri dan Ketua YDUA Nurjannah Husien.

Untuk mengetahui seorang anak membawa sifat talasemia atau tidak, dibutuhkan pemeriksaan darah di laboratorium.

Screening ini juga bertujuan untuk memberi pengetahuan kepada para orangtua agar bisa memahami keadaan anak-anak mereka dan memberi pemahaman saat anak menuju dewasa agar mereka tidak memilih pasangan yang membawa sifat yang sama. 

“Dengan cara ini, jumlah penderita talasemia akan bisa direduksi walau butuh waktu,” ujar Nunu, panggilan akrab Nurjannah.

Dalam dua tahun pertama, YDUA mendampingi pasien talasemia agar bisa mendapat darah dengan tepat waktu. Tagline misi kala itu adalah “ten for one thalassemia”.

“Artinya, kami berupaya menyediakan 10 orang pendonor untuk satu pasien talasemia sehingga setiap waktu transfuse tiba, darah sudah tersedia,” ujar Nunu.

Pada dua tahun kedua, YDUA memberikan sosialisasi penyakit ini dan cara meminimalisasi jumlah penderitanya ke sekolah, kampus, kantor pemerintahan hingga ke kelompok ibu PKK. 

”Tagline-nya 'Beware thalassemia before you ping someone' karena sasaran utama kita memang generasi muda sehingga mereka paham akan diri masing-masing,” ungkap Nunu.

Memasuki dua tahun ketiga, Nunu menambahkan, YDUA giliran menyasar pemerintahan dengan tagline ‘zero born thalassemia’.

“Kami berupaya agar bisa bermitra lebih dekat lagi dengan pemerintah sehingga cita-cita menjadikan Aceh sebagai daerah zero born alias bebas talasemia bisa terwujud,” tuturnya.

Caranya, lanjut Nunu, pemerintah bisa mengeluarkan peraturan daerah (qanun) kesehatan berisi keharusan screening bagi setiap anak yang lahir dan generasi muda yang ingin melangsungkan pernikahan, agar mengetahui kondisi talasemia masing-masing.

Dengan cara ini, ancaman kehilangan generasi muda akibat kematian di usia sangat dini pada 20-30 tahun mendatang bisa diminimalisasi.

Nunu berharap, Kota Banda Aceh bisa menjadi kota pertama untuk menerapkan program "zero born talasemia". Dengan jumlah penyandang talasemia sebanyak 34 orang, YDUA berharap tidak ada penambahan angka penyandang talasemia mayor mulai tahun 2018 di ibukota Aceh itu.

“Kami sangat berharap Banda Aceh bisa jadi pilot project untuk langkah ini dan kemudian diikuti oleh daerah lainnya di Banda Aceh,” ujarnya.

Wali Kota Banda Aceh, Aminullah Usman, menyambut baik upaya YDUA dalam membantu menangani penyakit talasemia di Banda Aceh.

“Kami akui memang Pemerintah Kota Banda Aceh belum terlalu fokus terhadap talasemia, tapi kini kami akan memulainya melalui penyuluhan kesehatan, misalnya dengan melakukan sosialisasi talasemia dalam setiap kegiatan Gampong KB di setiap kecamatan di Kota Banda Aceh,” kata  Aminullah Usman.

SELESAI

 

Tulisan berseri ini adalah hasil liputan Daspriani Y Zamzami, kontributor Kompas.com di Banda Aceh, sebagai peserta program Fellowship Journalism Science yang diadakan oleh AJI Indonesia.

 

 

 

https://regional.kompas.com/read/2017/10/25/13171871/aceh-bebas-talasemia-bukanlah-mimpi-2

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke