Salin Artikel

Menghalau Talasemia dari Aceh, antara Takhayul dan Medis (1)

Anaknya yang berusia tiga tahun itu dinyatakan menyandang talasemia, sejenis penyakit kelainan darah. Ini berarti, Rahmawati harus mendapatkan tansfusi darah sekali sebulan atau bahkan lebih sering lagi.

Husna makin terpuruk ketika dokter juga menjelaskan bahwa talasemia adalah penyakit yang diturunkan dari kedua orangtua. Bagaimana tidak, saat itu dia tengah mengandung anak keempat.

Dengan perasaan tak menentu, Husna menemani Rahmawati ditransfusi di Sentra Talasemia RS Zainal Abidin. Kadar hemoglobin (HB) anaknya yang semula 3 beranjak naik sehingga dokter mengizinkan mereka pulang ke rumah.

Sementara itu, di rumah, giliran suaminya, M Daud (42) jatuh sakit dan harus masuk rumah sakit. Dokter memvonisnya menderita gangguan prostat, sebuah istilah yang tidak dipahaminya.

Tidak berapa lama, sang suami berpulang, meninggalkan Husna dan calon bayi mereka yang berumur 3 bulan dalam kandungan.

Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, anak keempatnya ternyata lahir dengan talasemia. Aura namanya, kini berusia 7 tahun.

Sejak lahir, Aura menyandang talasemia mayor. Dia rutin ditranfusi sejak usia sepuluh bulan, bersama kakaknya di RS Zainal Abidin.

Husna bercerita, pada awalnya, dia tak mengerti kenapa Rahmawati selalu terlihat begitu lemas dan pucat. Dia malah sempat berpikir anak dan suaminya diganggu makhluk halus.

“Karena sebelumnya kami tak sempat membuat ritual untuk melancarkan kegiatan di sawah,”   ujar Husna saat menceritakan kisahnya, awal September 2017.

Titik terang soal penyakit anaknya baru muncul setelah Puskesmas merujuk anaknya itu ke RS  Zainal Abidin, Rumah Sakit Utama di Provinsi Aceh, yang jaraknya lumayan jauh, lebih dari satu jam perjalanan dengan kendaraan bermotor roda empat.

"Buta" talasemia

Nurhayati (48) sama butanya dengan Husna akan talasemia. Berkali-kali, dia dan suaminya berurusan dengan orang pintar di kampungnya di Kabupaten Bireuen untuk mengobati anak-anaknya yang selalu lemas dan pucat.

Bahkan, salah satu anak mereka, Fauzannur (14), sudah mengalami kelumpuhan karena rasa lemas yang ekstrem dan kadar hemoglobinnya tak pernah naik dari angka 3-4.

“Kami disarankan untuk memindahkan rumah beberapa meter dari lokasi yang ada oleh orang pintar itu, karena katanya ada sesuatu benda yang tertanam di bawah rumah kami,” ujar Nurhayati.

“Dibantu tetangga kami pun menggeser rumah kami beberapa meter ke samping,” tambah dia.

Sampai di RS Zainal Abidin, Yuliati dan Fauzanur didiagnosis menyandang talasemia. Dokter kemudian meminta agar semua anak Nuhayati dibawa ke rumah sakit untuk diperiksa di laboratorium.

"Dan lima dari delapan anak kami positif menderita penyakit talasemia," ungkap Nurhayati.

Kini tiga dari lima anak Nuhayati yang positif talasemia terpaksa meninggalkan bangku sekolah. Ada yang berhenti karena tidak tahan diejek akibat penyakitnya, ada pula akibat kondisi mereka yang semakin lemah sehingga hanya dapat berbaring di rumah.

Sebenarnya, penderita talasemia masih bisa hidup normal bila rutin mendapat transfusi. Tapi bagi banyak keluarga tidak gampang untuk disiplin memenuhi jadwalnya, terutama karena masalah biaya dan jarak ke rumahsakit yang cukup jauh.

Di RS Zainal Abidin, hingga Mei 2017 baru tercatat 315 thallers (pengidap talasemia) se-Aceh yang rutin melakukan transfusi darah di ruang Sentra Talasemia RS Zainal Abidin, padahal angka prevalensi talasemia di provinsi ini salah satu yang tertinggi di Indonesia.

Berat di ongkos

Soal beratnya ongkos transfusi terasa benar bagi Husna. Sebagai buruh tani, dia mendapat upah tidak seberapa. Ketika dia menjadi buruh tani pada musim panen cabai, misalnya, dia hanya dibayar Rp 3.000 untuk setiap kilogram cabai yang dipanen.

Dengan pendapatan yang tak seberapa ini, dia harus mengumpulkan ongkos transportasi dan kebutuhan makan dirinya dan kedua anaknya saat ke rumah sakit.

“Belum lagi kalau saya harus bolak-balik ke rumah sakit ketika dua anak saya jadwal transfusinya berbeda. Lumayan berat untuk kami yang kondisi ekonominya melemah seperti ini,” ujar Husna.

Keadaan Nurhayati tidak lebih baik. Dia hanya mengandalkan pendapatan sang suami, Daud (50), yang bekerja sebagai pemanjat dan pemetik buah kelapa. Sedikitnya mereka harus mengeluarkan biaya perjalanan Rp 1,5 juta untuk membawa lima anak mereka melakukan transfusi di RS Zainal Abidin Banda Aceh.

Lembaga Pendamping Penyandang Talasemia di Aceh, Yayasan Darah Untuk Aceh (YDUA) mengatakan, salah satu kendala utama bagi para pasien penyandang talasemia di Aceh untuk bisa rutin melakukan transfusi darah ke RS Zainal Abidin adalah karena 90 persen di antaranya berasal dari keluarga prasejahtera. Bagi mereka ongkos jelas halangan besar.

“Pasalnya saat ini belum ada rumah sakit regional yang jaraknya lebih dekat dengan tempat tinggal pasien yang bisa melayani para pasien talasemia, karena belum ada dokter spesialis yang ditempatkan di rumah sakit di daerah,” ujar Nurjannah Husien, pendiri YDUA.

Untuk membantu meringankan beban keluarga pasien, Nurjannah mengatakan YDUA memiliki program donasi bertagar #S3kumlod. Ini merupakan kependekan dari “Seribu Seorang Sebulan Kumpulan Loyal Donasi”.

Program ini adalah program donasi bagi penyandang talasemia. Para donatur menyumbangkan uangnya secara kontinyu Rp 1.000 per bulan.

“Kenapa Rp 1.000? Ini untuk memudahkan bagi siapa saja yang ingin berdonasi, termasuk anak-anak. Dengan program ini, kami juga menyosialisasikan kepada anak-anak dan remaja bahwa bersedekah adalah sebuah bentuk kepedulian kepada sesama dan bahwa setiap orang bisa menjadi penyandang talasemia. Untuk itu, mereka harus siap dengan kondisi tubuhnya dan mulai memeriksakan diri mereka sejak dini,” kata perempuan yang akrab disapa Nunu.

Selain terkendala masalah biaya, pengentasan talasemia di Aceh masih terhadang takhayul.

“Tidak sedikit ada anak yang meninggal dunia karena tidak melakukan pengobatan ke rumah sakit, hanya karena orangtua mereka masih percaya takhayul dan anak yang meninggal adalah sebagai tumbal bagi keluarga,” ungkap Nunu.

BERSAMBUNG

 

Tulisan berseri ini adalah hasil liputan Daspriani Y Zamzami, kontributor Kompas.com di Banda Aceh, sebagai peserta program Fellowship Journalism Science yang diadakan oleh AJI Indonesia.

 

 

 

https://regional.kompas.com/read/2017/10/23/18425241/menghalau-talasemia-dari-aceh-antara-takhayul-dan-medis-1

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke