Salin Artikel

Kampanyekan Literasi, Sutopo Modifikasi Becaknya Menjadi Perpustakaan

Sebuah becak berwarna biru tampak terparkir di pinggir trotoar. Tak jauh dari becak itu, duduk seorang pria yang sudah tidak muda lagi berteduh di bawah rindangnya pohon sembari membaca buku.

Pria tersebut bernama Sutopo. Di usianya yang beranjak 70 tahun, warga Cokrokusuman, Jetis, Kota Yogyakarta, ini setiap hari menarik becak.

Dilihat secara sepintas, becak milik Sutopo tak ada bedanya dengan yang lain. Namun bila dicermati, ada sesuatu yang spesial dari becak milik Sutopo, yakni tepat di atas sandaran penumpang terdapat rak yang terbuat kayu. Rak tersebut berisi berbagai macam jenis buku bacaan.

Sutopo dan buku memang tidak terpisahkan. Sejak kecil pria berusia 70 tahun ini sudah mempunyai hobi membaca buku.

"Sejak SMP saya sudah suka membaca buku. Yang saya baca itu, buku-buku silat, komik, kalau sekarang sudah tua bacaanya buku rohani," ujar Sutopo saat ditemui Kompas.com, Kamis (13/07/2017).

Kecintaannya akan membaca buku tidak bisa ditinggalkannya. Baginya, selama mata masih melihat, maka akan terus membaca buku.

"Bagi saya membaca itu tidak ada terlambatnya, sampai akhir hayat selama kita mampu melihat," urainya.

Supaya bisa tetap membaca buku, bapak tiga orang anak ini meletakkan buku-buku miliknya di samping kanan kiri kursi penumpang.

"Kalau lagi ada waktu, sembari menunggu penumpang atau beristirahat saya biasanya membaca," tuturnya.

Rak buku di becaknya sudah ada sejak tiga tahun lalu. Dirinya membuat rak di becak karena koleksi bukunya sudah mulai banyak. Selain itu, rak tersebut dibuat agar penempatan buku lebih rapi.

"Tiga tahun lalu ada pelanggan yang memberi saya satu tas kresek berisi buku. Saya menghargai yang memberi, lalu membuat rak ini," ucapnya.

Saat ini sudah ada puluhan buku yang ada di rak becak miliknya, mulai komik, buku kesehatan sampai buku rohani. Selain itu, Sutopo juga membawa sejumlah koran mulai dari Kedaulatan Rakyat, Tempo dan Harian Kompas.

Buku yang ada di becaknya pun tak hanya ia baca sendiri. Rekannya sesama tukang becak juga sering mengambil buku untuk dibaca sambil menunggu penumpang.

"Saya kan mangkal di dekat SD Tarakanita, anak-anak itu sering baca juga, teman tukang becak juga sering. Penumpang juga ada yang baca buku-buku ini," bebernya.

Kendari buku di rak becaknya tidak terlalu banyak, namun Sutopo ingin menularkan budaya membaca kepada siapapun. Sebab, membaca itu penting bagi siapapun untuk menambah wawasan dan pengetahuan.

"Membaca itu penting, buku itu kan jendela dunia, pemerintah saat ini kan sedang mengadakan budaya membaca. Saya ingin membantu pemerintah semampu saya, untuk mengampanyekan membaca," tegasnya.

Menurutnya, saat ini budaya membaca sudah mulai luntur. Terlebih bagi anak-anak meskipun tidak semua. Anak-anak lebih suka bermain gadget daripada membaca buku.

"Anak-anak sekarang tidak bisa lepas dari gadget, tapi tidak semua memang. Pulang sekolah mereka asyik dengan gadget, membaca hanya saat di sekolah saja," ucapnya.

Mengisi masa pensiun

Sutopo menceritakan bahwa dirinya dulu kuliah di Akademi Seni Rupa Indonesia (Asri) atau saat ini menjadi Institut Seni Indonesia (ISI). Ia masuk pada tahun 1969 dan lulus tahun 1971.

"Tahun 71 sampai 77 saya membuat papan nama, baliho. Waktu itu belum seperti sekarang, jadi kalau buat baliho ya saya gambar manual," ucapnya.

Pada tahun 1977, karena sering membantu di Koramil, dirinya ditawari bekerja di Kodim. Pada tahun 2003, Sutopo pensiun sebagai petugas sipil di Kodim.

"Tahun 2004 saya mulai becak. Anak saya kan sudah kerja semua, mereka menasihati agar saya tidak usah becak, menikmati masa pensiun di rumah," urainya.

Namun Sutopo tetap memutuskan menarik becak, karena melihat setiap orang yang pensiun langsung fisiknya drop karena meninggalkan rutinitasnya dan hanya berdiam diri. Bahkan, beberapa temannya setelah pensiun langsung sakit dan ada yang meninggal.

"Dengan pelajaran itu, saya harus tetap bergerak setelah pensiun. Saya memutuskan becak karena ada orangtua yang menawari antar jemput tiga orang anak dari rumah ke sekolah," tandasnya.

Saat itu, Sutopo belum mempunyai becak sendiri. Sehari-hari, ia menyewa becak dengan biaya Rp 2.500.

"Tapi lama-lama menganggu psikologi saya, sehari harus dapat uang untuk setoran. Lalu saya memutuskan beli becak sendiri, harganya Rp 600.000," tuturnya.

Diceritakanya, dirinya sempat beberapa bulan terpaksa berhenti menarik becak karena dirawat di rumah sakit akibat menderita struk. Namun berkat usaha kerasnya menjalani terapi dan keyakinannya, Sutopo kembali mampu menarik becak.

"Saya sekarang juga rutin olahraga lari," kata Sutopo.

Diakuinya, ia tidak pernah menargetkan dalam satu hari harus mendapatkan penghasilan berapa. Sebab, selain hanya untuk mengisi masa pensiun, berapapun rezeki yang diberikan Tuhan harus selalu disyukuri.

"Tidak pasti, sehari bisa Rp 50.000. Berapapun tetap harus disyukuri dan harus ingat kepada Yang Maha Kuasa," pungkasnya.

https://regional.kompas.com/read/2017/07/13/21105171/kampanyekan-literasi-sutopo-modifikasi-becaknya-menjadi-perpustakaan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke