Kilas daerah

Dedi Mulyadi: Pernah Anda Memikirkan Nasib Guru Honorer?

Kompas.com - 05/05/2017, 10:04 WIB

PURWAKARTA, KOMPAS.com - Pendidikan sejatinya memberikan ilmu pengetahuan kepada penerus generasi bangsa untuk mewujudkan Negara yang lebih maju. Upaya itu tak lepas dari peran para guru yang senantiasa memberikan bimbingan kepada murid-muridnya di sekolah.

Guru merupakan sosok yang selalu menjadi pendamping pelajar saat menerima pendidikan di kelas. Mulai transfer ilmu sampai perilaku dan gerak-geriknya tak lepas dari perhatian muridnya di sekolah. Plus, tuntutan tanggungjawab besar harus diemban seorang guru selama dirinya mengajar dan menjalankan tugasnya.

Selain memiliki andil bagi perubahan bangsa, guru adalah pekerja profesional yang dituntut membawa perubahan karakter setiap muridnya yang berbeda-beda. Salah satu tujuannya adalah menciptakan karakter murid yang punya tekad untuk menjadi orang berguna bagi bangsa dan negaranya.

Hal itulah yang selalu diingatkan oleh Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi melalui gagasan program pendidikan berbasis karakter dan aplikatif di tiap sekolah daerahnya. Setiap sekolah di kabupaten terkecil se-Jawa Barat ini telah menerapkan kedua kurikulum dasar tersebut.

Seperti tiap hari Selasa misalnya, sekolah di Purwakarta menerapkan pelajaran vokasional, yakni murid belajar secara aplikatif di rumah untuk membantu pekerjaan sehari-hari orang tuanya. Ada juga sekolah berbasis karakter sesuai kondisi wilayah dan lingkungannya.

"Di Purwakarta siswa SMP di daerah pegunungan dan persawahan akan belajar tentang cara mengembangbiakan ternak melalui teknik modern. Ilmu modern tentu tak ditinggalkan, tapi disesuaikan dengan karakter wilayahnya. Kalau sekolah di daerah Industri, ya pelajarannya aplikatif tentang perindustrian. Itu salah satunya," jelas Dedi, Selasa (2/5/2017) dalam rangka Hari Pendidikan Nasional.

IRWAN NUGRAHA/KOMPAS.com Jika di daerah lain Hari Pendidikan Nasional diperingati dengan cara seremonial, Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi mengajak jajarannya memperbaiki beberapa rumah guru honorer yang telah mengabdi belasan sampai puluhan tahun tanpa gaji yang mumpuni.
Guru Honorer

Mengetahui sangat pentingnya peran pendidikan, Dedi ikut memperingati Hari Pendidikan Nasional tahun ini dengan cara berbeda. Biasanya di daerah lain lebih diperingati dengan cara seremonial upacara dan acara lainnya, Kabupaten Purwakarta malah memperbaiki beberapa rumah guru honorer yang telah mengabdi belasan sampai puluhan tahun tanpa gaji yang mumpuni.

Persoalan guru honorer menjadi perhatian Dedi pada Hardiknas tahun ini. Meski ditambahi label "honorer" atau sukarelawan, jutaan guru di seluruh Indonesia ini telah berjasa mencetak muridnya menjadi doktor, bahkan profesor dan orang sukses.

Dedi mengatakan, para murid di kelas pun sebetulnya tak mengetahui kalau guru honorer yang mengajarnya hanya digaji oleh sekolahnya sebesar Rp 150.000 per bulan dari dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Muridnya hanya tahu kalau dirinya mendapatkan ilmu pendidikan dari seorang guru yang rela dan sekuat tenaga mentransfer ilmu kepada mereka di sekolah.

"Kita, seluruh komponen pemerintahan harus fokus untuk menyelesaikan problema guru honorer ini. Biasanya di sekolah-sekolah guru honorer lebih rajin daripada guru PNS. Juga, kalau guru honorer yang sudah diangkat PNS, ya jangan jadi malas-malasan. Problema ini yang harus kita benahi," ujar Dedi.

Adapun empat rumah tak layak huni milik para guru honorer di wilayahnya itu mendapatkan perbaikan langsung saat Dedi menyambanginya langsung ke lokasi. Bahkan, Dedi langsung membawa para pegawai bangunan ke tiap lokasi untuk melakukan renovasi rumah.

"Langsung diperbaiki. Ada empat rumah dan satu orang guru yang memiliki hutang langsung dibayar. Anggaran ini bukan dari APBD, tapi saya mendapatkan sumbangan dari rekan-rekan di dinas pendidikan," kata Dedi.

Titik permasalahan guru honorer sekarang, kata Dedi, yaitu proses rekrutmen menjadi PNS dengan pola administrasi penjaringan yang keliru. Misalnya, guru honorer berusia tua yang sudah mengabdi puluhan tahun di sekolah harus bersaing dengan guru muda yang baru lulus kuliah. Tentunya, para guru honorer senior akan kalah dalam sisi akademik oleh yang lebih muda.

"Ya, kalau guru honorer yang tua harus bersaing untuk jadi PNS dengan yang baru lulus kuliah, ya akan kalah. Seharusnya pengangkatan guru honorer disesuaikan dengan masa kerjanya dan langsung diangkat menjadi PNS," tambahnya.

Langkah itu pun harus diimbangi dengan menghentikan sementara penerimaan guru honorer oleh seluruh sekolah. Seperti di Purwakarta, lanjut Dedi, tercatat ada 4.000 pegawai honorer pada perekrutan dulu dengan rangking sesuai lamanya masa kerja. Karena itulah, perekrutan PNS dengan jumlah guru honorer sekarang akan disesuaikan mengikuti jumlah guru pensiun tiap tahunnya.

"Diperlukan ketegasan pemerintah dalam menyelesaikan permasalahan kesejahteraan guru honorer selama ini. Hentikan juga penerimaan guru honorer oleh sekolah-sekolah. Kalau tak dihentikan, nanti masalah ini tidak akan selesai. Uang negara semua habis untuk gaji pegawai kalau begitu, bagaimana kita bisa membangun," kata Dedi.

Kondisi saat ini guru honorer hampir di tiap sekolah dan selalu menjadi pengajar paling rajin. Meski bergaji kecil, para guru honorer itu memiliki semangat tinggi sehingga membutuhkan perhatian lebih pemerintah, terutama soal kesejahteraannya.

"Bayangkan, gaji kecil hanya ratusan ribu per bulan harus menghidupi istri dan anak-anaknya di rumah. Apakah itu cukup. Ah, para guruku honorer tersayang," tambahnya.

Dedi sendiri mengaku akan terus mengumpulkan dana dari rekan-rekannya untuk bisa melakukan perbaikan rumah para guru honorer di daerah lainnya. Dirinya berharap langkah ini akan sedikit membantu permasalahan kesejahteraan guru honorer selama ini.

"Saya juga nanti akan mencoba mengumpulkan uang untuk perbaikan rumah tak layak huni milik guru honorer di daerah lainnya," kata Dedi.

IRWAN NUGRAHA/KONTRIBUTOR PURWAKARTA

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com