Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Perjuangan Pasutri Mendirikan Sekolah Gratis untuk Anak Berkebutuhan Khusus

Kompas.com - 20/04/2017, 12:43 WIB
Kompas TV Kertebatasan fisik tak halangi dalang Gede Yudi Gorda Mahendra ini berkarya.

Mulanya, tidak ada permasalahan berarti. Namun, lambat laun, ia pun merasakan beban yang berat. Ia harus membayar relawan yang ikut mengajar di sekolahnya, operasional sekolah, dan biaya lainnya.

“Saya tidak memasang tarif, bagi ABK yang belajar di sekolah ini. Sekolah ini gratis, semuanya saya yang menanggungnya. Tapi saat itu, kondisi saya sangat kritis, aduh sempat galau juga,” kenangnya.

Ia sempat berniat membubarkan sekolah. Namun, ia tidak tega melihat siswanya yang terpaksa kehilangan haknya mendapatkan pendidikan.

Di satu sisi, ia juga tidak mungkin bertahan dengan kondisi seperti saat itu. Akhirnya, ia pun kembali memutar otak dan memutuskan untuk memncari sumbangan.

“Selain menggunakan uang pribadi, saya pun mulai mensosialisasikan dengan mencari donatur untuk operasional sekolah. Sayang, upaya untuk mencari donatur tidaklah mudah. Beberapa kali datang ke rumah orang-orang kaya yang berada disekitar sekolah, tapi tidak menghasilkan,” jelasnya

Alih-alih mendapatkan bantuan, lanjut Umar, mencari bantuan melalui proposal membuat hatinya semakin sakit.

Proposal yang berisikan persoalan anak-anak berkebutuhan khusus, hanya diambil dan diletakkan begitu saja. Jangankan dibaca, dibuka saja tidak. Hal itu, membuatnya merasa tak lagi memiliki harapan kepada orang-orang yang diharapkan bisa memikul tanggungjawabnya.

“Saya justru dianggap seperti pengemis. Saya hanya diberi uang Rp 5.000 tanpa meliha isi proposal,” katanya.

Baca juga: Riangnya Anak Berkebutuhan Khusus Bermain Bola...

Sejak itulah, ia pun termotivasi untuk bisa mendirikan SLB tanpa bantuan masyarakat. Ia mencari peluang untuk memperoleh dukungan dari pemerintah.

Namun, mencari bantuan pemerintah itu juga bukan hal yang mudah. Butuh berbagai syarat untuk bisa mendapatkan bantuan dana, salah satunya memiliki tanah siap bangun.

“Saya jual tanah orang tua, dan saya belikan tanah kosong. Setelah itu, saya ajukan untuk mendapatkan bantuan pembangunan SLB,” ungkapnya.

Caranya itu pun berhasil, ia mendapatkan bantuan dana Rp 90 juta untuk membangun SLB. SLB yang dibangunnya kini, mampu menampung pelajar mulai dari TK hingga SMA. Meski masih banyak kekurangan dan butuh pengembangan ke depannya.  

Umar mengaku, mengurus anak-anak berkebutuhan khusus bukanlah perkara mudah. Karena, harus memiliki rasa penuh kesabaran ekstra. Mengingat, anak-anak berkebutuhan khusus perlu mendapatkan perhatian khusus.

Seperti kasus yang sering dialaminya bersama guru-guru SLB Bhineka. Tak jarang mereka harus membuat kotoran di dalam kelas bahkan menceboki siswanya yang sudah besar-besar.

“Mereka memang memiliki keterbatasan. Ada yang tuna rungu, tuna grahita atau lemah mental. Sehingga, tak jarang ketika proses belajar mengajar berlangsung, tiba-tiba ada yang buang air besar di kelas. Mau tidak mau, kami harus membersihkan ruangan, bahkan juga menceboki siswa,” ungkapnya.

Meski begitu, ia tak merasa menyesal dengan dunia yang dilakoninya. Justru ia merasa bahagia, bisa memberikan perhatian ataupun berbuat sesuatu untuk mereka yang membutuhkan. (Surya/Galih Lintartika)

Baca juga: Cerita Ufa, Guru bagi Kemerdekaan Anak-anak Berkebutuhan Khusus...

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Sumber


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com