Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Perjuangan Pasutri Mendirikan Sekolah Gratis untuk Anak Berkebutuhan Khusus

Kompas.com - 20/04/2017, 12:43 WIB

PASURUAN, KOMPAS.com - Pagi itu, hari tampak cerah. Sinar matahari pun memancar sangat sempurna. Puluhan anak-anak terlihat melangkah menuju sekolahnya.

Sekumpulan siswa tampak berpisah dengan temannya. Ternyata, sekumpulan anak itu masuk ke dalam SLB Bhineka, yang terletak di Kelurahan Glanggang, Kecamatan Beji, Kabupaten Pasuruan.

Secara sepintas, kondisi fisik mereka tidak ada yang berbeda, namun ternyata mereka adalah Anak Berkebutuhan Khusus (ABK).

Sekolah itu berdiri berkat perjuangan dan kegigihan pasangan suami istri (pasutri) Umar (52) dan Salma (30).

Mereka adalah pasangan yang kompak karena memiliki jalan pemikiran yang sama, yakni mendirikan sekolah khusus ABK di Pasuruan. Keinginan pasangan ini pun tak mudah diwujudkan karena butuh kerja keras untuk bisa mencapai tahap seperti ini.

Harian Surya berkesempatan berkunjung ke sekolah yang berdiri sejak tahun 1996 ini. Suasana sekolah ABK ini tampak seperti sekolah pada umumnya, tidak ada yang istimewa.

Namun, kisah pasutri sangat luar biasa. Banyak manis pahitnya perjuangan yang mereka alami dalam membangun sekolah ini.

Mereka membangunnya secara mandiri, karena sempat kesulitan mendapatkan donator atau penyangga dana.

Kepada Surya, Umar mengaku alasan terkuat membangun sekolah ini karena panggilan hati. Ia mengaku sangat miris melihat ABK di sekitar lingkungan rumah istrinya yang tidak terawat dan tidak terpikirkan masa depannya.

Kala itu, ia pun merasa sangat iba dan ingin membuat sesuatu yang bisa bermanfaat untuk anak-anak yang berkebutuhan khusus itu.

“Saya ingin mengakomodasi pendidikan anak-anak yang memiliki keterbatasan, agar haknya memperoleh pendidikan itu terpenuhi,” katanya.

Ia menceritakan, perjalanan mengurus pendidikan anak-anak dibawah keterbatasan, tidak semudah membalikkan telapak tangan.

Dia mengakui dibutuhkan perjuangan ekstra, karena bukan hanya tenaga semata tetapi juga harta. Meski demikian, ia dan istrinya pun tak patah semangat.

“Justru cobaan itu kami jadikan sebagai pelecut untuk lebih bersemangat dalam menyelesaikan permasalahan dan rintangan,” kata pria alumni SGPLB Surabaya tahun 1986 itu.

Lulus kuliah, pria yang tinggal di Desa Tambakan, Kecamatan Bangil ini sempat mengajar di SLB Probolinggo. Namun, hal itu tak berlangsung lama, karena paska menikah dengan istrinya ini, ia memutuskan berhenti bekerja jadi guru.

Alasannya sederhana, karena rumah istrinya di Pasuruan, dan pekerjaannya di Probolinggo. “Saya capek bolak-balik setiap hari. Saya memutuskan untuk berhenti saja, dan mencoba peruntungan sebagai perajin perak,” ucapnya.

Menjadi perajin perak, kata Umar ini tidak mudah. Akhirnya ia pun memilih berhenti menjadi perajin perak karena tidak bisa bersaing dengan perajin perak lainnya.

Dia melihat ABK menjadi gelandangan, pengemis, dan hidup di jalanan. Ia pun bertekad memberikan wadah bagi mereka untuk belajar.

“Bekal saya dulu hanya nekat saja. Saya saja tidak punya apa-apa, selain ilmu yang saya timba dari kuliah dan pengalaman sewaktu saya mengajar di SLB Probolinggo,” ungkapnya.

Ia pun memutuskan untuk mendirikan SLB pada 1991 silam. Awalnya, ia membangun SLB bersama rekannya, di wilayah Bangil.

Namun, di tengah perjalanan, ada perbedaaan prinsip dirinya dengan rekannya tersebut. Ia pun memilih untuk mundur.

“Buat apa saya bertahan, kalau kita memang sudah beda prinsip. Saya lebih baik mundur saja dari sekolah yang sudah saya rintis dengan teman sejak empat tahun yang lalu,” sambung Umar.           

Tahun 1995, bapak dua anak ini pun kembali nekat dan merintis SLB sendiri. Satu-persatu ABK ditampungnya dan diberikan pelajaran secara pelan-pelan.

Kala itu, ia pun mengorbankan ruang tamu rumahnya untuk tempat belajar ini, karena memang tidak mampu memiliki ataupun menyewa gedung.

“Saya sempat dibuat bingung, saat murid bertambah banyak tapi ruang kelas tetap. Aduh, kalau saya paksakan di rumah tidak cukup, tapi ia pun takut menolak siswa yang mau belajar kasihan mental dan kondisi psikisnya,” sebutnya.

Saat itulah, ia pun mulai memberanikan diri untuk meminta bantuan. Ia pun mencari dukungan ke pihak Kelurahan Glanggang. Beruntung waktu itu, ada gedung TK yang tidak digunakan dan dimanfaatkan. Gedung TK yang dulunya tak terpakai itupun dimanfaatkannya untuk mengajar.

“Aktivitas belajar-mengajar saya lakukan pagi hari. Karena siang harinya saya bekerja. Pekerjaannya serabutan, pokoknya bisa menghasilkan uang,” jelasnya.

Hasil dari bekerja, kata dia, digunakan untuk biaya operasional sekolah, dan sebagian untuk biaya makan dan kebutuhan anak, istrinya.

Baca juga: Satu Kualitas Wajib bagi Orangtua dengan Anak Berkebutuhan Khusus

Halaman:
Sumber


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com