Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pelajaran Kehidupan dari Anak-anak Korban Tanah Longsor Ponorogo

Kompas.com - 10/04/2017, 07:00 WIB

KOMPAS.com - Jika surga ada di telapak kaki ibu, anak-anak adalah penghuninya.

Anak-anak yang kehilangan orangtua karena tanah longsor di Dusun Tangkil, Desa Banaran, Kecamatan Pulung, Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, seharusnya amat berduka. Namun, mereka menunjukkan ketegaran hati dan keteguhan batin yang luar biasa untuk terus hidup.

Jumat (7/4/2017) sekitar pukul 09.00 di Masjid Yayasan Pendidikan Anak Ibadus Sholihin, sekitar 150 meter dari SD Negeri Banaran dekat lokasi tanah longsor yang menimbun 28 orang dan memaksa hampir 200 orang mengungsi itu, sekitar 90 anak SD Negeri Banaran mengikuti pelajaran dan bermain.

Di antara para murid terlihat kakak beradik Rosa dan Putri. Mereka adalah anak dari Tolun dan Tuniah, dua dari 28 korban yang tertimbun tanah longsor yang terjadi pada Sabtu (1/4) pukul 07.30 itu. Mereka telah hadir bersama teman-teman meski terlihat masih agak murung.

Rosa dan Putri jelas tak bisa menyembunyikan wajah sedih karena kehilangan ayah dan ibunya. Petaka pada Sabtu yang cerah itu memaksa mereka mengungsi dan tinggal bersama kakaknya. “Kami kaget mereka sudah hadir dan semoga mereka mulai terhibur jika bertemu dan bermain kembali bersama teman-temannya,” kata Sudjarsijo, guru agama SD Negeri Banaran.

Selain itu, tampak Roin yang kehilangan tempat tinggal akibat tertimbun tanah longsor. Keluarganya memang tidak ada yang menjadi korban, tetapi Roin kehilangan seluruh harta benda keluarga. Sejak Selasa, untuk hadir ke masjid, Roin mengenakan seragam Pramuka.

“Bajunya habis. Ini baru dapat bantuan baju ganti,” kata siswi kelas VI itu saat berjalan pulang dari masjid menuju rumah pengungsian.

Seluruh murid sebenarnya masih terguncang atas peristiwa tanah longsor yang baru terjadi seumur hidup warga Desa Banaran itu. Di antara rumah yang tertimbun terdapat rumah yang biasa menaungi tidur mereka. Di antara nyawa yang terenggut terdapat nyawa sahabat, kerabat, bahkan orangtua mereka. Namun, hidup harus terus berlanjut. Setelah tragedi berlalu, ada mimpi dan asa yang harus diraih.

(Baca juga: Longsor Susulan di Ponorogo, Dua Rumah dan Satu Eksavator Tertimbun)

Rosa, Putri, dan Roin dengan tegar kembali ke sekolah untuk berkumpul, berinteraksi, dan belajar bersama. Memang kegiatan belajar di masjid belum normal karena baru 60 persen dari 170 murid yang hadir. Selain itu, beberapa ruang sekolah menjadi pos penerima dan penyalur bantuan untuk warga dan korban bencana alam.

Kegiatan pun sifatnya masih berupa hiburan untuk pemulihan psikologi para siswa, seperti pelatihan hasta karya.

“Atas instruksi Kepala UPK Dinas Pendidikan Kecamatan Pulung, kegiatan belajar pindah ke tempat yang lebih aman selama tiga minggu ke depan,” kata Sudjarsijo.

Jadi saksi mata

Wajar saja bila kekhawatiran itu masih ada. Gedung SDN Banaran hanya berjarak 50 meter dari ujung material longsor. Terlebih, dinding tebing sisi timur Desa Banaran ambrol pada Sabtu pagi saat kegiatan belajar belum dimulai. Sudjarsijo mengatakan, sebagian siswa masih di luar kelas dan melihat bencana longsor dengan mata kepala mereka sendiri.

Hal itu dibenarkan Roin. “Sebelum longsor ada suara dentuman keras dari arah timur. Tidak lama tanah ambrol, hampir sampai sekolah,” ujarnya.

Saat itu, Muyono, guru kelas VI, menambahkan, keadaan tidak  terkendali. Siswa yang histeris berhamburan keluar sekolah dan sulit dikendalikan karena hampir seluruh guru pun terkejut.

Halaman:
Baca tentang


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com