Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Agus Suntoro
Peneliti BRIN

Penulis adalah Koordinator Kelompok Riset Hukum Lingkungan, Sumber Daya Alam dan Perubahan Iklim, pada Pusat Riset Hukum Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

Sepotong Demokrasi di Tanah Papua

Kompas.com - 22/02/2017, 12:37 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorAmir Sodikin

TANAH Papua (Papua dan Papua Barat) selalu memiliki keunikan dan karakteristik yang khas, tidak saja dalam aspek ekonomi, sosial dan budaya, akan tetapi juga dalam aspek sipil dan politik. Demikian halnya, dalam hajatan demokrasi penyelenggaran pesta Pilkada 2017 termasuk tahapan pencoblosan yang digelar pada 15 Februari lalu.

Khusus Pilkada di Provinsi Papua tahun 2017 dilaksanakan secara serentak di 11 (sebelas) kabupaten/kota, di antaranya Kabupaten Nduga, Lanny Jaya, Sarmi, Mappi, Tolikara, Kepulauan Yapen, Kota Jayapura, Kabupaten Jayapura, Intan Jaya, Puncak Jaya, Dogiyai.

Sedangkan di Papua Barat dilakukan untuk pemilihan gubernur dan wakil gubernur, serta pilkada di 4 (empat) wilayah, yaitu Kabupaten Sorong, Kota Sorong, Kabupaten Tambraw dan Kabupaten Maybrat.

Pada pelaksanaan pemungutan suara 17 Februari 2017 lalu, beberapa kabupaten di antaranya Puncak Jaya dan Lany Jaya, Papua, masih menggunakan sistem noken. Sistem noken dalam praktiknya memiliki beberapa varian, yang paling menonjol sistem noken sebagai pengganti kotak suara dan noken konsep big man.

Terkait dengan sistem noken konsep big man, dalam berbagai aspek prasyaratnya tidak memenuhi standar hak asasi manusia dan kepemiluan. Sistem ini mengabaikan prinsip pemilu yang Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia (LUBER), serta Jujur dan Adil (JURDIL).

Pengaruh pimpinan adat dalam menentukan pilihan sangat kuat dan sulit diingkari oleh warganya, sehingga tidak ada iklim kebebasan bagi pemilih. Prinsip kerahasiaan juga telah hilang, karena hasilnya sudah diketahui sebelum pemilihan terjadi.

Pengabaian elemen umum dan setara, terjadi karena kontrol adat dan pengabaian sistem satu orang, satu pilihan dan satu nilai (one man, one vote, one value).

Meskipun demikian, KPU Provinsi Papua masih membolehkan penggunaan sistem noken yang dimaksudkan sebagai pengganti kotak suara.

Hal tersebut, sebagai dampak atas sikap Mahkamah Konstusi yang masih menerima pelaksanaan sistem noken dalam masa transisi, karena tidak membatalkan hasil pemilihannya.

Akan tetapi, Mahkamah Konstitusi menegaskan prasyarat yang ketat dalam putusan Nomor: 1/PHPU-PRES- XII/2014, yaitu:

Pertama, sistem noken harus diadministrasikan dengan baik dalam arti harus dituangkan ke dalam Formulir C1 di tingkat TPS sampai tingkat selanjutnya oleh penyelenggara pemilu.

Syarat ini penting dilakukan, terutama untuk menentukan keabsahan perolehan suara yang sekaligus untuk menghindarkan adanya kecurangan dalam penyelenggaraan Pemilu.

Kedua, memperhatikan dengan seksama tentang perjalanan historis yang terjadi di Provinsi Papua bahwa telah terjadi perkembangan secara evolutif pada masyarakat di Papua dengan bergeser atau berkurangnya daerah-daerah yang masyarakatnya masih menggunakan sistem noken ke sistem coblos langsung sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Ketiga, Mahkamah Konstitusi mendorong penyelenggara Pemilu dengan didukung oleh seluruh pemangku kepentingan harus proaktif untuk mensosialisasikan dan menginternalisasikan sistem

Pemilu yang dimuat oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sebetulnya putusan Mahkamah Konstitusi dalam beberapa perkara terkait dengan sengketa hasil pemilu/pilkada bersifat kausalitas.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com