Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Melukis dengan Kaki Membuat Hati Salim Ingin Terus Berbagi

Kompas.com - 19/01/2017, 07:00 WIB
Wijaya Kusuma

Penulis

SLEMAN, KOMPAS.com - "Orang membeli bukan karena kasihan, tetapi karena kualitas karya"

Ini kalimat yang terucap dari Salim Harama saat menggoreskan kuas bercat merah ke kanvas di lantai dua rumahnya di Dusun Pogung Lor, Desa Sinduadi, Kecamatan Mlati, Kabupaten Sleman.

Siang itu, Salim memang sedang menyelesaikan salah satu karya lukisnya. Goresan kuasnya mengisi ruang-ruang kosong di kanvasnya melengkapi wujud wajah, tangan mengepal serta jari yang sedang memegang sebuah amplop yang sudah ada.

Setiap kali cat yang digoreskannya habis, kakinya meraih botol kecil di depannya. Dengan jari-jari kakinya, Salim membuka tutup dan menuangkan di sebuah plastik bulat.

Kakinya lantas kembali meraih kuas kecil dan mencelupkan ke cat berwarna yang baru saja dituangnya. Sembari mencondongkan badannya ke belakang, Salim menjulurkan kaki kanannya dan melanjutkan menggoreskan kuas di kanvas.

Salim memang bukan pelukis biasa. Pria kelahiran Boyolali 27 Juli 1968 ini membuat karya lukisan dengan kakinya. Sebab kecelakaan kereta api yang terjadi pada 1979 membuatnya kedua tangannya harus diamputasi.

"Waktu kelas 4 SD, tangan saya harus diamputasi karena kecelakaan saat naik kereta api. Kejadianya di stasiun kecil dekat rumah," ucap Salim, Selasa (17/1/2017).

Dia memutuskan hijrah ke Yogyakarta pada tahun 1990 untuk meraih cita-citanya sebagai seorang tour guide sekaligus untuk masuk ke salah satu pusat rehabilitasi di Yogyakarta.

"Saya ditanya setelah lulus SMA mau apa? Saya jawab pengen jadi tour guide. Jadi harus ke Yogyakarta, saya melanjutkan kelas 3 di SMA Nusantara daerah Sosrowijayan," ungkapnya.

Gayung bersambut. Keinginannya menjadi tour guide membawanya belajar Bahasa Inggris di Selandia Baru. Di negara itu, bapak dua anak ini belajar bahasa Inggris selama satu tahun.

"Oleh pusat rehabilitasi diberikan kesempatan belajar Bahasa Inggris di Selandia Baru itu tahun 1991. Saya di sana satu tahun," tuturnya.

Setelah pulang dari Selandia Baru dan lulus dari SMA Nusantara, Salim lantas bekerja di salah satu Yayasan Rehabilitasi di Yogyakarta. Saat itu, Salim bertugas sebagai penerjemah bahasa Inggris dan membantu di kantor administrasi.

Sekitar tahun 1995, pria berusia 48 tahun ini ikut menemani pameran kerajinan hasil karya divabel di Yayasan Rehabilitas tempatnya bekerja. Di pameran itu, Salim bertemu dengan seorang teman difabel yang menganjurkan agar belajar melukis.

"Ketemu teman dia pelukis juga, bilang kalau ada waktu mbok belajar melukis. Tetapi waktu itu hati saya belum tertarik belajar melukis," kata Salim.

Seiring berjalannya waktu, ajakan itu terngiang-ngiang di pikiran Salim. Hingga suatu waktu, sekitar tahun 1997-1998 saat pameran di Jakarta, dia kembali bertemu dengan temannya kembali.

Di pertemuan yang kedua itu, lagi-lagi temannya menganjurkan agar dia belajar melukis.

"Awalnya melukis pohon Natal. Lukisan itu saya bawa ke yayasan, Eh ternyata dicetak untuk kartu ucapan, wah saya kepikiran berarti ada bakat," ujarnya.

Dari situlah, akhirnya Salim memutuskan untuk belajar dan menekuni dunia seni lukis dengan menggunakan kaki di sela-sela pekerjaanya. Menyadari tidak mempunyai dasar di dunia seni lukis, dia pun terus meng-upgrade ilmunya dengan membaca banyak buku soal seni lukis.

Selain itu, dia juga belajar dari teman-teman lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Bahkan ketika ada pameran lukisan, ia datang untuk belajar.

"Melukis dengan kaki kan berbeda dengan tangan. Jadi saya belajar keras kelenturan kaki, membuat garis, membuat sketsa dan itu memang tidak mudah, butuh proses," tuturnya.

Salim lantas mencoba keberuntungan bergabung di Association of Mouth and Foot Painting (AMFPA). Saat itu, dia diminta mengirimkan belasan karya lukisnya untuk diseleksi.

"Saya waktu itu ingin bergabung di AMFPA yang pusatnya di Switzerland. Saya diminta melukis sebanyak-banyaknya lalu dikirimkan dan diseleksi," ucapnya.

Dari hasil seleksi itu, dia berhasil bergabung dengan AMFPA. Salim diminta untuk mengirimkan karya-karyanya lukis ke AMFPA.

"Kami harus mengirimkan 15 karya lukisan dalam tiga tahun. Kalau ada yang lolos dan dimasterkan, kami mendapat royalti Rp 12 juta. Kalau tidak lolos, karya dikembalikan," ujarnya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com