Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Usung Gunungan Daun Tembakau, Petani Tolak FCTC

Kompas.com - 29/10/2016, 12:01 WIB
Wijaya Kusuma

Penulis

YOGYAKARTA, KOMPAS.com - Mengusung tema "Selamatkan Hidup Kami", petani tembakau dan cengkih mengelar aksi damai dengan long march dari Taman Parkir Abu Bakar Ali hingga titik nol km kota Yogyakarta.

Aksi damai yang massa dari APTI (Asosiasi Petani Tembakau Indonesia), APCI (Asosiasi Petani Cengkeh Indonesia), Karya Tani Manunggal (KTM) Temanggung dan Gerakan Masyarakat Tembakau Indonesia (GEMATI) ini untuk memperingati hari Petani Tembakau sedunia.

Long march diawali dengan gunungan daun tembakau. Di belakang gunungan, tampak beberapa gerobak sapi yang diikuti beberapa penari.

Usai Long march,  para petani berkumpul di halaman monumen Serangan Umum 1 Maret dan menyerahkan sebuah petisi kepada Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Pakualam X.

Ketua APTI Soeseno mengatakan, aksi damai ini merupakan aspirasi para petani kepada pemerintah terkait dengan kelangsungan industri tembakau Nasional.

"Aksi ini untuk mengingatkan pemerintah dan masyarakat umum akan pentingnya pertanian tembakau dan cengkih bagi Indonesia bagi jutaan orang yang mendapatkan penghidupan darinya," ujar dia, Sabtu (29/10/2016).

Soeseno menuturkan, tembakau merupakan salah satu komoditas strategis perkebunan yang memiliki peranan penting dalam pembangunan sosial, ekonomi dan lingkungan hidup. Ini sesuai dengan UU No. 39 tahun 2014.

Ia menyebutkan, para petani tembakau dan cengkih berharap pemerintah dapat memajukan pertanian tembakau dan cengkih nasional.

Selain itu pemerintah juga harus melindungi industri hasil tembakau Indonesia dari tekanan peraturan International yang eksesif seperti Framework Conventions on Tobacco Kontrol (FCTC).

Menurut dia, dalam aksi damai ini para petani tembakau dan cengkeh juga menuntut pemerintah untuk melindungi penghidupan dan industri hasil tembakau dari ancaman FCTC.

"FCTC melanggar hak konstitusional petani yang dilindungi oleh UU No. 12 tahun 1992 tentang sistem budidaya tanaman. Dimana petani berhak untuk menanam tanaman pilihannya," urainya.

Maka ketika sebuah lembaga dunia WHO membuat instrumen international untuk pengendalian tembakau yang cenderung merugikan industri hasil tembakau nasional, maka para petani, APTI dan APCI menyatakan menolak kebijakan itu.

"Sudah kewajiban kami untuk bersuara menolak agar pemerintah bisa lebih objektif dalam mengambil keputusan," bebernya.

Ketentuan lain yang merugikan petani, sebut dia, adalah larangan penggunaan bahan tambahan termasuk cengkih pada produk tembakau. Ini akan mematikan produk rokok kretek yang merupakan khas Indonesia.

"Kami mendukung keputusan Presiden Joko Widodo yang lebih mengedepankan kepentingan nasional dari pada mengaksesi Konvensi International yang menyakiti jutaan masyarakat Indonesia," ucapnya.

Sementara Ketua APTI Yogyakarta Djuwari menambahkan, pertanian tembakau merupakan bagian dari warisan bangsa Indonesia dengan nilai ekonomi tinggi. Hanya saja produktivitas pertanian tembakau belum sampai titik optimal.

"Sampai titik ini, keuntungan yang diterima petani masih terbatas. Ini jelas mempengaruhi tingkat kesejahteraan para petani," tegasnya.

Ia berharap para petani tembakau bisa mendapatkan bantuan sarana dan prasarana pertanian yang sama dengan komoditas lainya. Selain itu juga pendampingan teknis, akses permodalan serta pembangunan infrastruktur.

"Dengan adanya dukungan penuh tersebut, tembakau bisa kembali berjaya dan Indonesia bisa menjadi produsen bahkan eksportir tembakau terbesar dunia," sebutnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com