Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita Nenek Mariam Bertahan Hidup di Gubuk Reyot Peninggalan Suami

Kompas.com - 27/10/2016, 06:45 WIB
Syarifudin

Penulis

BIMA, KOMPAS.com - Siti Mariam (60) menghabiskan masa tuanya tinggal di sebuah gubuk reyot di Desa Talabiu, Kecamatan Woha, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat. Dia tinggal di situ bersama anak bungsunya setelah suaminya meninggal.

Rumah berukuran 4x6 meter itu berdiri di sekitar rumah tetangga yang sudah dibangun dari batu dan semen. Lantai gubuk itu hanyalah tanah, dindingnya dari bambu yang dianyam.

Hampir separuh dinding rumahnya jebol dan warnanya tampak kusam dimakan usia, sedangkan atapnya terbuat dari terpal dan genteng dengan lubang di sana sini.

Di dalam gubuknya, terdapat perabotan dapur yang berserakan dengan kondisi yang sudah tak layak dipakai. Sementara itu, kamar tidurnya menyatu dengan dapur. Tempat tidurnya beralaskan plastik bekas.

“Beginilah kondisi rumah saya. Dindingnya sana-sini jebol, bahkan atapnya bocor,” ujar Mariam saat ditemui, Rabu (26/10/2016).

Dia mengaku, saat ini tak berani menempati gubuknya itu ketika hujan datang karena khawatir bangunan seketika roboh. Ketika hujan lebat, dia akan pergi menumpang di rumah tetangga karena air hujan masuk ke rumahnya dari atap yang bocor. Lalu, ada warga sekitar yang menyumbangkan uang untuk dipakai memperbaiki gubuknya.

“Ketika hujan turun, air masuk ke rumah dan menggenangi tempat tidur karena atap yang bocor. Bahkan atapnya roboh sebulan yang lalu akibat diterpa hujan deras,” tutur Mariam.

Maryam mengaku belum pernah menerima sekali pun bantuan dari pemerintah meski sesekali ada petugas yang datang untuk memotret dan mencatat kondisi rumahnya.

“Sudah sering kali rumah saya difoto oleh petugas pemerintah. Katanya, saya dijanjikan untuk diberikan bantuan rumah. Tapi sampai hari ini enggak ada bantuan seperti yang dijanjikan, mereka juga enggak pernah nongol lagi,” ujar perempuan asal Kecamatan Parado, Kabupaten Bima, ini.

Dia menuturkan, gubuk yang kini ditinggalinya ini dulu dibangun oleh suaminya. Namun belum genap tiga tahun di desa itu, suami yang diharapkan sebagai tulang punggung keluarga tiba-tiba jatuh sakit lalu menderita kelumpuhan sehingga tak bisa berjalan.

Saat itulah, lanjutnya, beban hidup mulai dirasa kian berat. Sementara itu, tiga anaknya yang sudah menikah tak bisa diandalkan untuk membantu meringankan beban karena mereka juga tidak memiliki penghasilan tetap. Anak bungsunya yang kini berusia 15 tahun juga tak pernah mengenyam pendidikan.

Selama suaminya sakit, dia terpaksa merawatnya seorang diri dengan memberikan obat dari ramuan tradisional. Namun, penyakit yang diderita suaminya malah makin parah. Hingga akhirnya, sang suami meninggal tiga tahun lalu setelah menderita kelumpuhan selama 13 tahun.

“Saat itu, suami saya sakit. Saya hanya memberikan ramuan saja, karena saya tak punya uang untuk membawanya ke rumah sakit,” kata Mariam dengan mata berkaca-kaca.

Mariam mengatakan, sejak suaminya sakit, dia bekerja sebagai buruh cuci dan pembantu rumah tangga oleh para tetangga yang membutuhkan tenaganya. Dia mencuci dengan terburu-buru dan menjemur pakaian, untuk kembali bergegas ke rumah mengurus suami dan memberinya makan.

Dalam jangka waktu tertentu, dia diberi uang jasa ala kadarnya. 

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com