Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Suatu Saat Kami Bisa Hidup Mewah dari Hasil Pertanian"

Kompas.com - 11/10/2016, 21:01 WIB
Sigiranus Marutho Bere

Penulis

KUPANG, KOMPAS.com - Udara pagi itu cukup panas meski waktu baru menunjukkan pukul 8.30 Wita.

Cuaca panas tak menyurutkan semangat puluhan remaja berseragam putih biru menggali lubang di lahan tidur seluas 750 are. Lubang sedalam 7 sentimeter itu kemudian ditutup dengan pupuk organik.

Sambil tertawa dan bersenda gurau, siswa dan siswi Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri I, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Nusa Tenggara Timur (NTT), seolah sudah tahu tugas pokoknya masing-masing.

Murid perempuan dan laki-laki berbaur. Ada yang memegang besi penggali dan ada pula yang bertugas menyebar benih kacang-kacangan yang ditampung di dalam kantong keresek kecil, ember dan karung putih berukuran 25 kilogram.

Tak terasa memang, dalam tempo kurang dari satu jam, puluhan lubang sudah terisi dengan benih kacang dan jagung.

Para siswa ini sedang mempraktikkan program bertani jenis baru, yakni metode pertanian konservasi (conservation agriculture). Penerapan metode baru ini adalah hasil pembinaan dan pelatihan yang diberikan langsung oleh badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Food and Agriculture (FAO) Indonesia wilayah NTT.

Tidak terlalu sulit bagi anak-anak ini untuk mengaplikasikan metode pertanian jenis konservasi. Sebab, selain sudah terbiasa, mereka juga punya kemauan yang kuat untuk menjadi petani yang sukses kelak bila sudah lulus nanti.

Meski lokasi lahan garapan sekolah berada persis di jalur jalan raya utama Kota Soe (ibu kota Kabupaten TTS), namun mereka tidak malu, apalagi minder untuk terus bekerja mengolah lahan itu. Bagi mereka, bertani bukan pekerjaan yang hina, melainkan sangat mulia karena bisa memberi makan banyak orang.

“Saya berminat masuk sekolah pertanian ini karena orangtua saya memang petani, tapi masih menggunakan pertanian tradisional. Karena itu, saya mau datang belajar di sini karena saya ingin menunjukkan kepada orang-orang bahwa pertanian itu bukan saja menjanjikan tetapi juga tulang punggung negara dan dunia. Karena tanpa pertanian tentu kita tidak bisa makan,” kata Gisel Natonis (17), pelajar kelas III SMK Negeri I jurusan Agribisnis Tanaman Pangan dan Holtikultura kepada Kompas.com, Selasa (11/10/2016).

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com