BANDUNG, KOMPAS.com - Sungai Cimanuk di Kabupaten Garut, Jawa Barat, mengamuk, Selasa (20/9/2016) malam. Derasnya luapan air meluluhlantakkan ratusan rumah warga dan menewaskan puluhan jiwa penduduk Kabupaten Garut dan Sumedang.
Tragedi itu bukan semata bencana akibat faktor alamiah. Lebih dari itu, kerusakan di daerah aliran sungai (DAS) menjadi sebab utama datangnya banjir bandang.
Situasi ini kemungkinan terjadi lagi di kawasan aliran Sungai Citarum di provinsi yang sama.
Kepala Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup (BPLHD) Provinsi Jawa Barat Anang Sudarna mengatakan, riak besar Sungai Citarum sudah mulai terlihat.
Meski tak separah musibah Cimanuk, luapan Citarum pernah menimpa warga di Cililin, Kabupaten Bandung Barat, dua tahun lalu.
"Artinya kemungkinan itu ada, sangat memungkinkan. Kabupaten Bandung banyak daerah terjal dan pemukiman, Bandung utara juga begitu," kata Anang, Minggu (25/9/2016).
"Ini baru awal, belum masuk penghujan, baru kemarau basah. Boleh jadi itu terjadi lagi, kita harus terus waspada sambil berupaya memitigasi," ujarnya.
Saat ini, kata Anang, luapan Citarum telah menimbulkan genangan di daerah berelevasi terendah, seperti di Kabupaten Bandung. Meski begitu, dampak kerugian yang ditimbulkan tergolong besar.
(Baca juga Sungai Citarum Meluap, 3 Kecamatan di Bandung Terendam Banjir)
Jika mengacu pada parameter Koefisien Regim Sungai (KRS) yang dirilis Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BPNB), angka kerusakan Sungai Citarum (92 KRS) masih di bawah Sungai Cimanuk, yang menembus angka 713 KRS. Sungai dinyatakan buruk jika KRS-nya lebih besar dari 80.
"Itu hanya perbandingan debit rendah dan dan debit tertinggi. Tapi jenis tanah serupa dengan Garut, yakni vulkanik. Jadi jangan dianggap remeh," tuturnya.
Selain berdampak negatif bagi masyarakat, buruknya kualitas air Citarum berpengaruh terhadap produksi energi listrik untuk wilayah Jawa dan Bali.
PT Indonesia Power sebagai pengelola Unit Pembangkit Saguling (hilir Citarum) mulai merasakan dampak pencemaran Citarum.