Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Muhammadiyah Minta Penanganan Kerusuhan Tanjungbalai Tidak Memakai Sistem Hukum Pidana

Kompas.com - 01/08/2016, 20:25 WIB
Kontributor Medan, Mei Leandha

Penulis

MEDAN, KOMPAS.com - Organasasi masyarakat Muhammadiyah Sumatera Utara meminta penanganan pasca-kerusuhan bernuansa SARA di Tanjung Balai, Sumatera Utara, tidak menggunakan pendekatan criminal justice system. Masih banyak lagi pendekatan lain yang lebih komprehensif.

Sebab, pendekatan sistem peradilan kriminal ini dinilai tidak akan mampu menyelesaikan akar permasalahan konflik.

"Pendekatan ini bisa memicu konflik lanjutan yang meluas ke daerah lain. Penanganan kerusuhan di Tanjungbalai harus menggunakan Undang-undang Nomor 7 tahun 2012 tentang Penangangan Konflik Sosial," kata Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Utara Abdul Hakim Siagian, Senin (1/8/2016).

"Undang-undang ini sudah dilengkapi Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2015, ini lebih mampu menyelesaikan kerusuhan yang sudah memenuhi unsur sebagai konflik sosial," lanjut Abdul Hakim.

Pasal 2 UU tersebut, lanjutnya, menjelaskan bahwa penanganan konflik harus mengedepankan pendekatan musyawarah, kemanusiaan, hak asasi manusia, kebangsaan, kebhinekatunggalikaan, keadilan, ketertiban, keberlanjutan dan kearifan lokal, serta tanggung jawab negara, partisipatif, tidak memihak dan tidak membeda-bedakan. Asas ini perlu ditegaskan untuk menjadi landasan dan acuan.

"Kita tidak mau seperti menangani penyakit, yang diobati cuma yang nampak, penyakit dalamnya dibiarkan. Penyakit dalam di Tanjungbalai perlu diusut tuntas agar arif tawaran penyelesaian konfliknya. Jangan kita terjebak hanya di tingkat seremonial dan pencitraan saja," ujarnya.

Pihaknya sudah menurunkan tim untuk melakukan evaluasi atas konflik, baik melalui publikasi media, testimoni para saksi serta hasil data yang dikumpulkan. Hasilnya, Muhammadiyah Sumut menyimpulkan apa yang terjadi Tanjungbalai sudah memenuhi unsur konflik sosial sehingga sebagai negara hukum, sudah seharusnya undang-undang khusus penanganan konflik dan peraturan pemerintahnya digunakan.

"Kalau ada perbedaan pendapat, silahkan saja," katanya lagi.

Kesenjangan sosial

Menurut dia, sejarah menceritakan bahwa Tanjungbalai sejak dulu menjadi salah satu daerah yang memiliki tingkat perekonomian tertinggi di Sumut. Waktu komoditi kopra menjadi primadona, warga Kota Tanjungbalai memiliki tingkat ekonomi yang cukup baik hingga mereka bisa menyekolahkan anaknya ke perguruan tinggi di Timur Tengah.

Pada masa kejayaannya, kota ini dikenal sebagai lumbung dai, kori, ustaz dan ustazah. Kori internasional bahkan banyak yang berasal dari Tanjungbalai.

Namun setelah reformasi berjalan, kondisi perekonomian khususnya warga pribumi menurun drastis karena harga kopra jatuh ke level terendah. Dilanjut dengan hilangnya kelapa dan berkurangnya hasil tangkapan nelayan akibat pembangunan dan kerusakan lingkungan.

Puncaknya, kota yang berbatasan langsung dengan Singapura dan Malaysia ini menjadi gerbang masuknya barang-barang selundupan, terutama narkoba.

Lambat laun, keadaan memunculkan warna kontras kesenjangan ekonomi dan sosial di masyarakatnya. Degdradasi moral dirusak narkoba, banyak orang kehilangan pekerjaan, penghasilan dan pendapatan tak sebanding, menumbuhsuburkan kepekaan sosial.

"Berdasarkan hasil survei dan penelitian kami, di beberapa daerah tinggal menunggu meledak saja. Apalagi perilaku penyelundupan yang masif itu, masuknya narkoba, peredaran bebas, jangankan orang dewasa, anak-anak suka hati membicarakannya. Jadi penanganan secara kriminal saja tidak akan cukup," kata Abdul Hakim lagi.

Intinya, kata Abdul Hakim, lemahnya hukum dan tidak hadirnya negara dalam menjalankan fungsinya mencerdaskan dan menyejahterakan rakyatnya menjadi faktor utama rusaknya tatanan sosial dan budaya. Pembodohan terjadi dimana-mana.

"Kalau otak kosong, perut lapar, disulut yang berpunya mempertontonkan hartanya, maka gesekan beraroma SARA seperti api yang menyambar bensin," ucapnya.

Dalam penanganan konflik sosial, kata Abdul Hakim, hukum menjadi pendekatan terakhir yang diterapkan. Fakta-fakta sejarah membuktikan bahwa konflik sosial hanya bisa diselesaikan lewat musyawarah, adat dan kebiasaan.

"Undang-undangnya sudah ada, kita dorong dan desak untuk digunakan. Kami minta pihak-pihak yang menangani kasus ini menyadari tangung jawabnya," pungkas laki-laki yang dikenal advokad senior itu.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com