Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Anak-anak Muda Ini Ingin Buktikan "Parkour" adalah Positif

Kompas.com - 08/04/2016, 08:26 WIB
Kontributor Magelang, Ika Fitriana

Penulis

MAGELANG, KOMPAS.com - Beberapa waktu lalu, istilah "parkour" menjadi perbincangan netizen dan warga Magelang, Jawa Tengah, setelah muncul video kontroversial "Red Bull" Internasional di Candi Borobudur.

Mengutip Wikipedia, parkour adalah aktivitas yang bertujuan untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya, dengan efisien dan secepat-cepatnya, menggunakan prinsip kemampuan badan manusia.

Di Magelang sendiri ada sekelompok anak muda pecinta parkour yang berkumpul membentuk komunitas bernama STROM Parkour Magelang. Mereka beranggotakan sekitar 30 orang anak-anak muda usia SMP, SMA dan buliah baik yang berasal dari Kabupaten Magelang maupun Kota Magelang.

Setiap seminggu tiga kali mereka berlatih parkour di beberapa tempat, antara lain Taman Badaan, lapangan Kompleks TNI Rindam IV Diponegoro, dan di Alun-alun Kota Magelang.

Febri Rizki Kurniawan (22), ketua STROM Parkour Magelang, menjelaskan, untuk melakukan aktivitas parkour, seseorang harus memiliki keahlian yang diasah melalui serangkaian latihan dan kekuatan fisik.

"Melakukan parkour harus dimulai dari kemauan diri yang kuat dan latihan rutin. Sebab, tidak mudah melakukannya, tidak sekadar berlari dan melompat," jelas Febri kepada Kompas.com, belum lama ini.

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Magelang itu mengatakan, sebenarnya gerakan-gerakan parkour berbeda dengan free running dan tricking. Olahraga yang dicetus oleh David Bale asal Perancis ini lebih banyak pada gerakan berlari dengan cepat dan melompati halang rintang.

Sedangkan free running dan tricking adalah kombinasi gerakan parkour ditambah salto dan gerakan lainnya. Menurut Febri, gerakan yang ditunjukkan atlet "Red Bull" Pavel Perkuns alias Pasha pada video komersil di Candi Borobudur beberapa waktu lalu merupakan kombinasi gerakan parkour dan free running.

"Saya sudah lihat video itu di media sosial, dia banyak melakukan salto di Candi Borobudur," kata pemuda asal Desa Deyangan, Kecamatan Mungkid, itu.

Namun Febri menyayangkan aksi indah sang atlet dilakukan di tempat yang tidak semestinya. Menurut dia, Candi Borobudur merupakan tempat yang disakralkan oleh umat Buddha serta menjadi cagar budaya warisan nenek moyang yang harus dilestarikan.

"Kami saja yang tinggal dekat dengan Candi Borobudur belum pernah beraksi di sana. Kami pernah mencoba meminta izin tapi dilarang oleh petugas. Kami sadar karena Candi Borobudur tempat yang sakral dan rawan rusak," ungkap dia.

Finalis Duta Wisata Kabupaten Magelang 2016 itu sendiri mengaku gemar dengan parkour sejak mengenyam pendidikan di SMA Mungkid Kabupaten Magelang setelah melihat beberapa tayangan di jejaring sosial YouTube.

Sejak itu, ia berlatih lalu mendirikan komunitas STROM bersama beberapa temannya yang juga memiliki minat yang sama.

Idris (20), salah satu anggota STROM Parkour Magelang, mengakui bahwa melakukan parkour harus diawali dengan mental dan niat yang kuat untuk belajar. Sebelum melakukan gerakan itu, anggota harus melalui beberapa tahapan latihan, mulai dari pemanasan, latihan gerakan dasar hingga gerakan ekstrem.

"Kalau tidak latihan bisa jatuh, cidera, yang membahayakan tubuh," kata Idris yang mengaku sudah menggemari parkour sejak kelas II SMP.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com