Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Dedi Mulyadi
Anggota DPR RI

Pernah menjadi tukang ojek, penjual beras, hingga peternak domba. Mantan Bupati Purwakarta yang kini anggota DPR RI.

Menyepi Saat Gerhana Matahari

Kompas.com - 09/03/2016, 16:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorWisnubrata
Hari Raya Nyepi merupakan sebuah tradisi ritual dan sosial masyarakat Hindu Bali yang memanifestasikan ajaran Catur Brata yang meliputi Brata Amati Geni, Brata Amati Lelanguan, Brata Amati Lelungan, dan Brata Amati Karya.

Secara esensial kegiatan ini mengajarkan kepada manusia untuk menyepikan diri, tidak melakukan aktivitas apapun, yang bersifat hawa nafsu yang disimbolkan dengan mematikan api, tidak bepergian, dan tidak melakukan aktivitas pekerjaan rutin.

Substantif ajaran dari tanah dewata ini merupakan manifestasi dari keluhuran para pengikut budaya yang sarat dengan nilai harmoni antara manusia dengan alam.

Hasrat pemenuhan kebutuhan manusia untuk memenuhi kepuasan ragawi telah melahirkan watak eksploitasi laksana bara api yang terus berkobar melalap apapun yang ada di sekitar hidupnya.

Polusi udara, bising kendaraan, deru pesawat terbang, aneka gambar, dan hiruk pikuk suara yang terpancar dari siaran audio visual seakan tak pernah lelah memenuhi hasrat hidup manusia. Setidaknya Hari Raya Nyepi telah meredakan seluruh kobaran itu, walaupun hanya sehari.

Tiis ceuli, hérang mata; itulah pandangan masyarakat Sunda terhadap ikhtiar transformasi diri manusia dalam seluruh alam raya.

Dalam kalimat yang sering diucapkan oleh para dalang, rep sidakep sinuku tunggal, tangan loro dadian tunggal, ana awas boten nawas, ana ambung boten nambung, ati ngait manah ngénta, menekung kanu Maha Agung, ngabrantang kanu Maha Kawasa, mujasmédi kanu Hyang Widi .

Secara maknawi bahwasanya proses pertapaan ragawi, penyatuan mata dengan pandangannya, telinga dengan pendengarannya, hidung dengan penciumannya, lidah dengan pengucapannya, yang berpusat pada hati harus mampu menangkap seluruh fenomena logis Ketuhanan dalam bentuk pulung (cahaya) yang menjadi petunjuk bagi dirinya.

Kesadaran diri sebagai makhluk bagian dari alam raya melahirkan watak penghambaan dan penyerahan diri secara totalitas, tunduk dan patuh terhadap apa yang menjadi ketentuannya yang diatur dalam kaidah hukum alam.

Alam yang terlalu terang dalam sudut pandang kasat mata seringkali membuat manusia lupa akan keberadaan diri dan tuntunan hidupnya.

Terkadang kesadaran manusia didapat dari kegelapan, bahkan rasa takut yang ada dalam dirinya membuat dia patuh terhadap terang, walaupun hanya pada setitik kayu api.

Gerhana matahari merupakan fenomena alam yang memperlihatkan betapa bermaknanya gelap ketika siang. Rasa takut akan tidak kembalinya matahari, melahirkan mitologi yang terekspresikan dalam budaya gerhana.

Ketika cahaya matahari terhalang oleh bulan, kita berteriak histeris seakan kita begitu mencintainya dan matahari menjadi segala-galanya dalam hidup kita.

Namun ketika kenduri gerhana usai dirayakan, kita kembali melindungi diri dengan payung, berkacamata hitam, masuk ke rumah tak berjendela, menyalakan listrik di dalam ruangan; seakan matahari tak mesti ada.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com