Klenteng Boen Bio dibangun sebagai simbol perlawanan pedagang Tionghoa terhadap penjajah Belanda.
Juru kunci Klenteng Boen Bio yang juga humas Majelis Konghucu Surabaya, Liem Tiong Yang menceritakan, klenteng itu dibangun pada 1883.
Biaya pembangunan diperoled dari denda yang dibayar pemerintah Belanda atas putusan pengadilan yang memenangkan konflik monopoli ekonomi antara pemerintah Belanda dengan pedagang Tionghoa di Surabaya saat itu.
"Biaya denda tidak untuk biaya kerugian ekonomi pedagang Tionghoa, tapi untuk membangun rumah ibadah. Ini adalah bentuk perlawanan warga Tionghoa kepada Belanda saat itu," ujar Liem, Senin (1/2/2016).
Liem tidak menjelaskan secara rinci detil konflik antara para pedagang dan pemerintah Belanda kala itu.
Dia hanya mengatakan, perlawanan itu bermotif monopoli ekonomi Belanda atas para pedagang Tionghoa di Surabaya.
"Saat itu, diceritakan ekonomi Surabaya sempat lumpuh karena pedagang Tionghoa menggelar aksi protes dengan mogok berjualan," lanjut dia.
Sejak berdiri sampai saat ini, klenteng seluas 1.000 meter persegi yang berlokasi di Kelurahan Kapasan, Kecamatan Simokerto itu tetap berdiri kokoh dan menjadi tempat peribadatan warga Tionghoa di Surabaya Utara, bagian kota yang terkenal sebagai sentra aktifitas ekonomi warga Tionghoa.
Jelang perayaan Imlek, Klenteng Boen Bio ramai didatangi umat Konghucu untuk beribadah. Malam ini, atau malam tanggal 24 bulan 12 dalam penanggalan tahun Imlek, rencananya akan digelar sembahyang tolak bala atau Ciswak, serta sembah yang mengantar para suci kembali ke langit.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.