Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ketika Sandaran Hidup Habis Dilalap Api di Pulau Bangka...

Kompas.com - 13/09/2015, 11:58 WIB
Kontributor Manado, Ronny Adolof Buol

Penulis

MINAHASA UTARA, KOMPAS.com - Ferdinand (42), warga Desa Lihunu, Pulau Bangka, Minahasa Utara berat melangkahkan kaki mengikuti ajakan aparat desa pergi ke titik api di Aring Kambing. Perasaannya bercampuk aduk dan gundah, antara tidak percaya dan harus menerima kenyataan pahit.

"Kebun cengkeh kami yang siap panen habis terbakar. Begitu juga dengan pohon jambu mete dan pohon pala. Tidak ada yang tersisa, semuanya terbakar," keluh Ferdinand, Minggu (13/9/2015).

Padahal, menurut dia, buah cengkeh tersebut sebentar lagi akan dipanen, dan hasilnya mereka akan tabung untuk persiapan anaknya yang akan selesai sekolah dan melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi.

Namun apa daya, kebakaran yang melanda Pulau Bangka seminggu ini membuyarkan rencana keluarga itu. "Tidak tahu mau bagaimana lagi, semuanya sudah habis. Itu tempat kami mengantungkan hidup selama ini. Kebakaran tidak bisa dikendalikan, karena kami tidak punya peralatan dan tidak ada bantuan sama sekali," kata Ferdinand.

Di tengah kegundahannya, Ferdinand bersama beberapa warga lainnya di Lihunu tetap melangkahkan kaki berjalan sejauh kurang lebih lima kilometer dari perkampungan menuju ke titik api yang masih menyala.

Mereka dibantu Anggota Batalion Marinir Pertahanan Pangkalan Bitung mencoba untuk mengisolasi api agar tidak lebih melebar ke area yang belum terbakar. Sudah sekitar 2.000 hektar hutan adat dan perkebunan warga hangus terbakar di pulau yang mempunyai luas tidak lebih dari 5.000 hektar itu.

Kebakaran yang belum diketahui dari mana sumbernya itu setidaknya telah melanda tiga desa di pulau itu, yakni Desa Libas, Desa Kahuku, dan Desa Lihunu. Bahkan, dua resor wisata di pulau itu ikut menjadi korban.

Dari laut, terlihat jelas puncak-puncak bukit di Pulau Bangka telah gundul akibat kebakaran besar tersebut. Beberapa warga menuturkan bahwa musibah kebakaran ini berbeda dari musibah-musibah sebelumnya.

Pemilik Resort Mimpi Indah di Totohe, Ulfa pun mengakui kebakaran kali ini memang sangat besar. "Saya sudah 11 tahun tinggal di sini, beberapa tahun lalu, kemarau panjang juga terjadi, sampai-sampai tanah pecah-pecah karena sangat kering, tapi yang terbakar hanya ilalang. Namun kali ini sampai pohon-pohon besar pun terbakar. Ironisnya, pemerintah daerah terkesan tidak peduli dengan musibah ini. Beruntung ada Marinir yang mau membantu memadamkan api," papar Ulfa.

Ulfa pun tidak tinggal diam, dia bersama tamu resortnya bahkan ikut menyusuri lereng-lerang perbukitan membantu upaya pemadaman walau dengan menggunakan peralatan seadanya.

"Medannya cukup berat, tebing-tebing dan sumber air sangat susah, kami harus melewati beberapa bukit untuk sampai di titik api. Jadi tidak ada air," kata Dwi, seorang anggota Marinir.

Kapala Urusan Kesra Lihunu, Dekclory Saweduling berharap Pemerintah Daerah Minahasa Utara turun tangan mengatasi musibah ini, terlebih lagi menangani kerugian yang dialami warga dari kebakaran tersebut.

Dia menjelaskan, dari musibah ini akan sangat berpengaruh pada pendapatan warga desa, mereka telah kehilangan sumber pencarian.

"Yang jelas karena kehilangan sumber pencarian, akan juga berpengaruh pada kemampuan mereka menyekolahkan anak, dan desa kehilangan sumber pendapatan. Kami belum bisa menghitung berapa besar kerugian yang dialami, dan berharap Pemerintah segera menangani hal ini," harap Decklory.

Musibah kebakaran ini memang semakin menambah beban warga Pulau Bangka, kemarau panjang juga telah menyebabkan sumber-sumber air bersih mereka terputus, sehingga menimbulkan krisis air bersih di beberapa area.

Di Libas, warga bahkan harus berjalan kaki berkilo-kilometer hanya untuk mendapatkan air bersih di bagian lain pulau itu. Warga Pulau Bangka dalam beberapa tahun ini bahkan telah dibebani dengan konflik yang berkepanjangan atas kehadiran investor tambang asal Tiongkok yang beroperasi di pulau yang awalnya menjadi destinasi wisata tersebut.

Sebagian besar warga menolak adanya aktivitas tambang yang mereka anggap mengancam sumber daya alam di pulau mereka. Namun berbagai gugatan yang dimenangkan warga di pengadilan bahkan di tingkat Mahkamah Agung hingga kini belum bisa memaksa perusahaan tambang tersebut angkat kaki dari pulau tersebut.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com