Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kota Tanjung Pinang: Menjaga Kota Gurindam

Kompas.com - 12/06/2015, 15:00 WIB


Oleh Kris Razianto Mada

Tanjung Pinang dan Masjid Sultan Riau atau Masjid Penyengat tidak bisa dipisahkan. Masjid di pulau kecil dalam wilayah Tanjung Pinang tersebut menjadi salah satu bukti kejayaan Kesultanan Melayu dan kerajaan-kerajaan penerusnya.

Beberapa tahun lalu, masjid itu diusulkan masuk daftar warisan sejarah dunia yang ditetapkan Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO). Usulan itu kemudian diperbaiki karena bukan hanya masjid yang akan dimasukkan, melainkan seluruh pulau.

Rancangan peraturan daerah untuk pelestarian kebudayaan di Penyengat sedang disusun. Peraturan itu untuk memastikan nilai dan kebudayaan Melayu dilestarikan dan diterapkan sepenuhnya di Penyengat.

Kini, warga Tanjung Pinang sedang menunggu usulan mereka diterima UNESCO. Akan butuh waktu sangat panjang sebelum usulan itu diterima. Setiap tahun, UNESCO hanya menerima sedikit usulan dan lalu memberikan dana untuk pengembangan serta pengelolaan.

Sembari menunggu usulan diterima UNESCO, Penyengat tetap dikunjungi pelancong setiap hari. Warga menjadi pengelola di sana, sesuai dengan semangat pengelolaan warisan budaya dunia yang ditetapkan UNESCO.

Pemerintah hanya memberi panduan dan menyediakan infrastruktur, seperti dermaga yang lebih nyaman dan jalan di sekeliling pulau. Papan-papan informasi seputar sejarah Penyengat juga dipasang di berbagai penjuru. Semua itu untuk memudahkan pelancong di Penyengat.

Pelesir ke Tanjung Pinang memang terutama karena sejarah dan budaya. Kota yang tahun ini berusia 231 tahun itu memang punya sejarah panjang. Kota itu pernah menjadi tempat Raja Ali Haji beraktivitas dan melahirkan, antara lain, Gurindam 12 serta Bustanil Katibin. Kitab bahasa itu adalah cikal bakal bahasa Melayu modern yang kemudian menjadi bahasa Indonesia.

Tanjung Pinang juga pernah menjadi tempat KH Agus Salim menghabiskan sebagian masa remajanya. Diplomat yang berkeliling mencari dukungan dan pengakuan bagi kemerdekaan Indonesia itu bersekolah di Europeesche Lagere School (ELS) di Tanjung Pinang.

Sejak abad ke-18, Tanjung Pinang memang sudah menjadi ibu kota bagi beberapa negara, karesidenan, dan provinsi. Kota itu beberapa kali dijadikan pusat pemerintahan Kesultanan Melayu dan Kesultanan Riau-Lingga. Belanda juga menjadikannya sebagai pusat karesidenan yang wilayahnya membentang dari Siantan di Laut Natuna hingga ke wilayah yang kini dikenal sebagai Riau dan Sumatera Utara.

Sebelum dipindah ke Pekan Baru, ibu kota Riau di Tanjung Pinang. Kota tua ini kembali menjadi ibu kota provinsi saat Kepulauan Riau resmi pisah dari Riau pada 2002. Pemerintah Kota Tanjung Pinang sendiri menetapkan hari jadi kota itu 6 Januari 1784, hari puncak perang Riau antara Kesultanan Riau-Lingga dan Belanda.

"Pemilihan hari jadi untuk menunjukkan kota ini punya sejarah amat panjang," ujar Dedi, warga yang juga sejarawan amatir di Tanjung Pinang.

Meski memilih usia tua, Tanjung Pinang sebagai daerah otonom masih muda. Tanjung Pinang menjadi kota sejak 17 Oktober 2001. Sejak tanggal itu, Tanjung Pinang baru bisa menata dirinya sendiri. Penataan itu antara lain memindahkan pusat pemerintahan dari kawasan lama di sekitar Pelabuhan Sri Bintan Pura ke kawasan Senggarang.

Tidak hanya Pemkot Tanjung Pinang yang mendorong ke tempat yang belum dilirik. Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau dan sejumlah instansi juga melakukan hal serupa. Pusat pemerintah Kepri dipindahkan ke Pulau Dompak, pulau di selatan Penyengat. Sementara sebagian instansi lain membangun kantor di kawasan Senggarang.

Pemindahan itu guna mendorong pembangunan lebih merata di berbagai penjuru Tanjung Pinang. "Infrastruktur ke kawasan itu otomatis dibangun juga. Jadi, warga bisa menikmati jalan, jaringan listrik, dan infrastruktur lain di daerah yang dulu sama sekali tidak tersentuh," ujar Sekretaris Kota Tanjung Pinang Riono.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com