Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Batal Jadi TKW di Hongkong, Yuni Didakwa Menipu Perusahaan TKI

Kompas.com - 02/10/2014, 17:05 WIB
Kontributor Semarang, Nazar Nurdin

Penulis


SEMARANG, KOMPAS.com – Yuni Rahayu, seorang calon Tenaga Kerja Wanita (TKW) asal Kota Semarang, Jawa Tengah, didakwa melakukan penipuan terhadap perusahaan jasa tenaga Keja Indonesia (PJTKI). Yuni dituntut pidana satu tahun dan enam bulan penjara oleh jaksa penuntut umum pada Kejaksaan Negeri Semarang dalam sidang di Pengadilan Negeri Semarang, Kamis (2/10/2014).

Yuni dianggap bersalah melakukan penipuan dana rekruitmen dirinya terhadap PJTKI melalui PT Maharani Tri Utama Mandiri.

Menurut Jaksa, Evi Yulianti, Yuni dinilai telah menggelapkan dana rekruitmen PJTKI sebesar Rp 6,5 juta. Uang tersebut merupakan dana yang diklaim diberikan PT Maharani Tri Utama Mandiri untuk memberangkatkannya bekerja di luar negeri pada tangggal 20 Januari 2014. Namun, kenyataannya terdakwa tidak jadi berangkat menjadi TKW di Hongkong.

Yuni sendiri mendaftar di PJTKI pada taggal 7 Januari 2014. PT Maharani merasa dirugikan atas tidak berangkatnya terdakwa hingga mereka melapor Yuni ke pihak berwajib. Jaksa pun kemudian menjerat Yuni dengan pasal 378 KUHP. Perbuatan Yuni pun dianggap telah mencukupi seluruh unsur dalam pasal tersebut, yakni sebagai pihak yang menguntungkan diri atau orang lain, memakai nama palsu atau martabat palsu dengan tipu muslihat atau kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya atau supaya memberi utang maupun menghapuskan utang.

“Tak ada niat baik yang dilakukan oleh terdakwa, selain karena terdakwa telah menguntungkan diri sendiri,” ujar Evi.

Tuntutan pada Yuni, lanjut jaksa, juga mempertimbangkan banyak hal. Jaksa menganggap tindakan terdakwa yang berbelit-belit menjadi unsur pemberat. Begitu juga dengan aspek kerugian yang dialami oleh PT Maharani karena tidak jadi memberangkatkan terdakwa.

Secara terpisah, kuasa hukum terdakwa, Guntur Perdamaian, mengaku bahwa persoalan Yuni semestinya tidak masuk ranah hukum pidana. Perkara penggelapan tersebut dinilai terjadi dalam kerangka kontrak kerja, sehingga jika dinyatakan bersalah harus dikenakan sanksi.

“Ini bukan persoalan pidana. Ini murni perdata, karena ada perjanjian. Selain itu, uang kerugian juga turun menjadi Rp 6,5 juta, padahal di kepolisian dasarnya Rp 19 juta,” papar Guntur.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com