Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita Miris dari Bangkalan

Kompas.com - 02/08/2014, 08:18 WIB

Oleh: Dody Wisnu Pribadi

Beragam bentuk kekerasan, dari hanya ancaman, dilukai dengan senjata tajam, ditabrak saat naik kendaraan, hingga disabet dengan celurit, adalah cerita sehari-hari jika orang mengorek di balik cerita politik di Kabupaten Bangkalan, Madura, Jawa Timur. Ada daftar panjang nama mereka yang menjadi korban kekerasan berlatar politik lokal itu.

”Siang hari, orang itu masih demonstrasi, memprotes karena suara saudaranya yang maju sebagai calon anggota legislatif (caleg) hilang. Sore hari ada kabar orang itu tabrakan saat ia memboncengkan anaknya. Sudah jadi rahasia umum, ke mana larinya suara itu, yaitu ke caleg lain, orangnya penguasa. Lalu, penabraknya tertangkap, tetapi dihukum ringan. Alasan penabrak di depan polisi, ia dendam dengan korban. Padahal, korban tidak kenal dengan penabrak itu,” ungkap Suyitno (35), politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), yang baru terpilih sebagai anggota DPRD Bangkalan pada pemilu legislatif (pileg) lalu.

Cerita semacam itu bertebaran di Bangkalan. Nama korban dan keterkaitan kasusnya dengan suatu sebab politik lokal selalu tergambar jelas. Korban semula adalah orang yang berdemonstrasi atau memprotes pada posisi berseberangan dengan penguasa atau kerabatnya di Bangkalan.

Ada yang demonstran pemilu kepala daerah (pilkada), pileg, dan terakhir pemilu presiden/wakil presiden (pilpres). Namun, mereka yang menjadi korban belum tentu bisa begitu saja disebut sebagai pihak yang ”putih”, yang bersih dan patut dibela, karena beberapa di antaranya sebenarnya pesaing politik dari lingkaran kekuasaan lain yang berseberangan di Bangkalan.

Kondisi Bangkalan itu kian menarik dalam pilpres lalu, saat di sejumlah tempat pemungutan suara (TPS) suara untuk pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla adalah nol. Seratus persen suara di TPS itu, termasuk 17 TPS di Kabupaten Sampang, Madura, Jatim, untuk pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Kekerasan, setidaknya intimidasi, diduga turut mewarnai hasil pemungutan suara itu.

Daerah tertinggal

Pada latar demikian itulah, Bangkalan, yang sampai tahun 2013 merupakan wilayah daerah tertinggal, menjalani politik lokalnya. Namun, tentu saja terkait semua cerita kekerasan dalam persaingan kekuasaan itu, tak ada seorang pun yang bisa ditemui dan bersedia terbuka menyebutkan jati dirinya.

PDI-P merupakan partai minoritas di tengah lanskap sosial politik berbasis budaya keagamaan (Islam) di Bangkalan. Dalam partai ini berkumpul kader, simpatisan, dan aktivis yang bisa bercerita agak terbuka, di tengah suasana mayoritas yang diam (silent majority) di Bangkalan.

Raihan suara PDI-P dalam Pileg 2014 melonjak sehingga menjadikannya sebagai partai pemenang kedua, dengan perolehan tujuh kursi di DPRD Bangkalan. Pada pemilu sebelumnya, partai ini hanya memiliki empat kursi. Pemenang pertama, dengan 10 kursi di DPRD, adalah Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) yang dipimpin mantan Bupati Bangkalan Fuad Amin. Bangkalan kini dipimpin Bupati R Muh Makmun Ibnu Fuad, putra Fuad Amin.

Terkait Pilpres 2014, Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) PDI-P Kabupaten Bangkalan Fatchurrahman mengungkapkan, paling tidak ada 20 TPS di Bangkalan dari sekitar 1.400 TPS di 21 kecamatan, dengan perolehan suara untuk Jokowi-Jusuf Kalla yang diusung PDI-P bersama Partai Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), serta Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) adalah nol suara. Kondisi itu terjadi di Kecamatan Galis dan Burneh. Meski sah secara hukum, ada banyak tanda tanya yang mengiringinya.

Di TPS itu, suara pasangan Prabowo-Hatta yang diusung Partai Gerindra, Partai Golkar, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Demokrat bisa mencapai 95-98 persen dari daftar pemilih tetap (DPT). ”Suara untuk nomor 1 (Prabowo-Hatta) mencapai 300-400 suara. Ini tak umum sebab kehadiran nyata pemilih di TPS itu hanya sekitar 50-70 orang, atau mustahil mencapai 100 persen dari DPT,” ungkap Fatchurrahman.

Kisah lain melatari kemenangan calon nomor 1. Warga Bangkalan cenderung tak ingin menyebut nama pada Pilpres 2014 di Bangkalan. Cerita itu diungkapkan terbuka oleh Suyitno, tetapi wartawan peliput diminta mematikan kamera video atau tidak merekamnya. Sejumlah kepala desa diberi target harus dapat memberikan suara untuk nomor 1 paling tidak 95 persen dari pemilih yang terdaftar di DPT.

Jabatan sekitar 70 persen kepala desa di Bangkalan, lanjut Suyitno, akan habis tahun ini. Jika masih ingin menjabat, diduga mereka harus mengikuti perintah untuk memenangkan nomor 1 dalam Pilpres 2014. Tekanan terhadap camat, kepala desa, dan pegawai negeri sipil (PNS) itu efektif, terasa di Bangkalan, tetapi sulit untuk dibuktikan. Tentu saja cerita di Bangkalan ini tak muncul dalam gugatan pasangan Prabowo-Hatta di Mahkamah Konstitusi, terkait keputusan Komisi Pemilihan Umum yang memenangkan pasangan Jokowi-Jusuf Kalla.

Saat rekapitulasi suara di KPU Bangkalan, 16 Juli lalu, pasangan Prabowo-Hatta meraih kemenangan besar di Bangkalan dengan 644.608 suara atau sekitar 81 persen. Pasangan Jokowi-Jusuf Kalla hanya mendapatkan 149.258 suara (19 persen).

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com