Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Banjir Akibat Tambang, SMP di Samarinda Pindah Gedung

Kompas.com - 04/12/2013, 16:41 WIB
Kontributor Samarinda, Yovanda Noni

Penulis


SAMARINDA, KOMPAS.com
– Setiap tahun, Sekolah Menengah Pertama (SMP) 19 Samarinda, Kelurahan Sungai Siring, Samarinda Utara, Kalimantan Timur (Kaltim), menjadi langganan banjir lumpur. Tercatat, sampai Desember 2013, sekolah tersebut sudah empat kali kebanjiran setinggi satu meter.

Kepala SMP 19, Syahrul menjelaskan, saat banjir surut, seluruh ruangan di SMP tersebut akan dipenuhi lumpur. Pihak sekolah mengatakan, banjir tersebut merupakan banjir kiriman. Pasalnya, 150 meter dari sekolah terdapat dua reklamasi bekas galian tambang yang terkesan dibiarkan oleh perusahaannya. Perusahaan tersebut masing-masing, PT Lanna Harita Indonesia (LHI) dan PT Buana Rizki Armia (BRA).

Menurutnya, akibat terkena banjir, sebanyak 287 siswa terpaksa tidak belajar. Mereka hanya bersih-bersih ruang kelas saja. “Kejadian terakhir pada pekan lalu, tepatnya tanggal 30 November 2013. SMP 19 kebanjiran lumpur selama dua hari. Tingginya sampai dada orang dewasa. Kami sudah mengeluhkan hal ini pada pihak perusahaan, tapi belum ada tanggapan. Terpaksa kami ajukan ke Dinas Pendidikan (Disdik) Kota dan Provinsi Kaltim,” katanya, Rabu (4/12/2013).

Disebutkan Syahrul, aduan yang ditembuskan ke pemerintah sudah mendapat jawaban. Dalam waktu dekat, SMP 19 akan mendapatkan gedung sekolah baru yang letaknya tidak jauh dari sekolah yang lama. Namun, pemerintah hanya membuatkan 10 ruang kelas tanpa kantor guru. Padahal, tiga bulan ke depan siswa akan menghadapi Ujian Akhir Nasional (UAN).

“Bulan ini, 10 ruang kelas sudah jadi. Tapi tetap tidak bisa dipakai karena tidak ada kantor untuk guru. Dalam tiga bulan ke depan, kami harus memiliki kantor. Sebab kami akan menghadapi UAN, dan kami tidak bisa bertahan di sekolah yang lama,” katanya.

Terlepas dari rencana itu, lanjut Syahrul, hingga kini niat baik dari dua perusahaan tambang belum ada kejelasan. Melalui DPRD Kota, Syahrul meminta dua perusahaan tersebut untuk membangunkan ruang kantor darurat di sekolah yang baru. Namun hingga kini, kunjungan dari pihak perusahaan belum terealisasi.

“Saya pernah menghubungi pihak perusahaan PT LHI melalui ponsel, saya undang untuk melihat kondisi sekolah. Tapi pihak LHI malah mengatakan tidak punya anggaran untuk membangun sekolahan. Padahal saya hanya mengundang pihak perusahaan untuk datang melihat kondisi sekolah, bukan minta dibangunkan sekolah,” jelasnya.

Selanjutnya, Syahrul menyerahkan kasus tersebut pada pemerintah kota dan provinsi. Pihaknya hanya menunggu niat baik perusahaan agar bersedia membuatkan ruang kantor berukuran kecil. Jika tiga bulan ke depan siswa masih menempati gedung yang lama, maka proses UAN akan terancam gagal.

“Saya mengharapkan ruang beratap ukuran 10 x 20 meter saja, tidak perlu ada sekat. Cukup untuk menaruh barang-barang saja. Waktu menghadapi UAN sudah mepet, kalau tetap bertahan di sekolah yang lama, siswa terancam tidak dapat melakukan UAN kalau hujan dan kebanjiran,” harapnya.

Sementara itu, saat dikonfirmas Kompas.com melalui sambungan telepon, Kepala Teknik Tambang (KTT) PT Lana Harita tidak mengangkatnya. Dikirim pesan singkat pun tidak dibalas.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com