Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Asap Dipandang Sebelah Mata

Kompas.com - 05/09/2013, 11:26 WIB

KOMPAS.com - Hari Rabu (28/8) pagi, Cindy Marsela (11), dibawa ke puskesmas di ibu kota kecamatan. Sebelum mendapat pertolongan medis, murid kelas V SD Negeri 001, Bandar Petalanhan, Pelalawan, Riau, itu pusing dan mual. Tidak berapa lama, Cindy pingsan. Beberapa temannya mengalami gejala yang sama.

Tidak sulit mencari penyebab kesehatan mereka terganggu. Biang kerok permasalahan itu adalah kabut asap yang selama sepekan terakhir merajalela di seluruh sendi kehidupan masyarakat Riau, terutama di Kabupaten Pelalawan dan Kota Pekanbaru.

Sehari sebelumnya, dua siswa Madrasah Tsanawiyah Negeri Pekanbaru mengalami gejala serupa. Pihak sekolah cepat mengambil inisiatif meliburkan sekolah agar siswanya tidak lagi terkena dampak kualitas udara yang memburuk.

Pada Kamis (29/8), Kepala Dinas Pendidikan Pekanbaru Zulfadil mengambil kebijakan meliburkan seluruh murid taman kanak-kanak sampai murid kelas III sekolah dasar di Kota Pekanbaru. Kebijakan itu kemudian diikuti oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Pelalawan.

Keputusan meliburkan murid usia dini itu dinilai tepat. Hal itu merujuk rekomendasi Dinas Kesehatan Kota Pekanbaru yang menyatakan sudah ada 144 penderita infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) yang tersebar di 20 puskesmas di Pekanbaru pada 27 Agustus.

Keesokan harinya, jumlah penderita ISPA meningkat menjadi 224 orang. Lebih dari setengah penderita itu adalah anak-anak di bawah umur. ISPA memang telah menjadi salah satu momok penyakit di Riau.

Akibat bencana asap yang berulang sepanjang tahun, saat ini sudah lebih dari 25.000 orang menderita penyakit saluran pernapasan di seantero Riau (Data Dinas Kesehatan Riau). Jumlah penderita melonjak tajam saat kabut asap merebak di kota yang terpapar asap. Jika pengobatan penyakit ISPA menelan biaya Rp 300.000 per orang, total biaya sudah mencapai Rp 7,5 miliar.

Masih ada lagi kerugian lain. Hampir setiap pagi dalam sepekan terakhir beberapa maskapai yang hendak berangkat atau menuju Pekanbaru terpaksa menunda penerbangan atau mengalihkan pendaratan ke beberapa daerah lain, seperti Medan, Batam, atau Singapura. Belum lagi kerugian ratusan calon penumpang yang terpaksa berdesakan di terminal menunggu keberangkatan yang tertunda.

Bagaimana masyarakat Pekanbaru menyikapi masalah itu? Kehidupan warga Pekanbaru
tidak banyak berubah. Meski ada imbauan untuk mengurangi aktivitas di luar ruangan, aktivitas warga berjalan seperti biasa saja. Kendaraan bermotor, roda dua, tetap hilir mudik atau lalu lalang di jalan raya. Di ”Kota Bertuah” itu sebagian besar pengemudi tidak memakai masker. Padahal, saat menerobos asap, mata menjadi sangat perih dan bernapas menjadi sesak.
Tetap ramai

Hari bebas kendaraan setiap Minggu pagi di kawasan Jalan Diponegoro dan Jalan Gajahmada, Pekanbaru, tetap ramai meski asap sedang tebal-tebalnya. Ketika ada pembagian masker gratis, hampir seluruh warga di sana menggunakannya. Namun, begitu acara selesai, ribuan masker bekas dibuang begitu saja di tengah atau di pinggir jalan.

Bukan berarti tidak banyak warga yang peduli terhadap kesehatan dengan memakai masker. Masih lebih banyak warga yang tidak peduli dengan asap yang mampu membuat dirinya sakit, atau warga sebenarnya justru tidak tahu dan tidak mampu berbuat apa-apa mengatasi asap. Bagi masyarakat yang peduli kesehatan, mereka selalu berdoa agar asap menyeberang dahulu ke Singapura.

Mengapa? Karena setelah asap Riau terkirim ke Singapura, bakal muncul protes keras pemerintah negara tetangga tersebut terhadap Pemerintah Indonesia. Setelah itu, kabut asap bakal dijadikan bencana nasional. Baru kemudian pemerintah pusat menurunkan dana besar untuk pemadaman secara besar-besaran.

Pengamat Lembaga Ruang Publik Riau, B Himawan Pratomo, meminta Badan Nasional Penanggulangan Bencana turun tangan mengatasi bencana asap di Riau. Sebab, apabila menunggu aksi Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Riau, warga akan kecewa. Maklum, sudah berpuluh kali bencana asap terjadi, BPBD Riau sering terlambat melakukan aksi.

”Omong kosong ada pencegahan bencana asap di Riau. BPBD baru sibuk kalau asap sudah memenuhi angkasa Riau,” kata Himawan.

Penegak hukum, kata Himawan, juga bertindak setengah hati mengurusi para pembakar lahan. Kasus asap dianggap tidak seksi dan hanya digarap ketika media sudah berbuih-buih memberitakan bencana. Setelah bencana berlalu, kasus pembakar lahan biasanya terpendam lagi dan baru diangkat ketika asap kembali membubung.

”Saya juga sedih karena para pembakar lahan sudah kehilangan rasa empati dan peduli terhadap nasib manusia lain yang menderita karena asap yang ditimbulkannya,” kata Himawan. Pakar gambut dari Institut Pertanian Bogor, Basuki Sumawinata, menyatakan, pemerintah telah gagal menolong petani kecil dalam upaya memenuhi kebutuhan akan lahan untuk kesejahteraan hidup.

”Kalau tidak ada metode yang murah dan mudah dari pemerintah, sepanjang itu pula petani akan tetap membakar lahan,” ujar Basuki. Selanjutnya, mari kita lihat aksi pemerintah kemudian. (Syahnan Rangkuti)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com