Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Aktivis Tolak Penambangan Emas di Banyuwangi

Kompas.com - 16/05/2013, 16:39 WIB
Siwi Yunita Cahyaningrum

Penulis

BANYUWANGI, KOMPAS.com — Para aktivis lingkungan menyerukan agar pertambangan emas tidak dilakukan di wilayah Tumpang Pitu, Banyuwangi, Jawa Timur, sebab bahaya kerusakan lingkungan sudah nyata. Saat ini sejumlah biota pantai Lampon, lokasi yang berdekatan dengan pemilahan bijih emas, tercemar merkuri.

Para aktivis lingkungan di antaranya dari Banyuwangi's Forum For Environmental Learning (BaFFEL) dan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) dan Wahana Lingkungan Hidup hingga Rabu (15/5/2013) menyatakan menolak segala bentuk pertambangan emas, baik tradisional dan modern di Tumpang Pitu.

Rosdi Bahtiar Martadi, aktivis BaFFEL, menyatakan, Tumpang Pitu yang berada di kawasan hutan lindung, seharusnya tidak dieksploitasi. Selama ini pertambangan emas selalu berefek negatif pada lingkungan dan berujung pada konflik sosial. "Kami sudah memperingatkan pemerintah tentang bahaya penambangan emas dan konflik horizontal yang muncul. Kalau memang upaya penambangan masih dilakukan kami akan ajukan gugatan," katanya.

Andre S Wijaya, Koordinator Nasional Jatam juga mendesak agar pemerintah mengawasi ketat peredaran merkuri. Saat ini petambang dengan mudah mendapatkan merkuri untuk mengolah emas yang mereka dapatkan. Limbah merkuri itulah yang menyebabkan kerusakan lingkungan parah. "Ada pasar gelap merkuri, kalau ini bisa dicegah, pencemaran lingkungan tentu bisa diperkecil," katanya.

Tumpang Pitu, yang merupakan kawasan hutan lindung diperkirakan mempunyai kandungan emas sebanyak 2 juta ounce. Saat ini izin usaha tambang di kawasan itu diperebutkan oleh PT Interpid Mines Ltd dan Bumi Suksesindo. Sejak tahun 2007, pertambangan tradisional sudah beroperasi di kawasan tersebut.

Peneliti biologi Susintowati dari Universitas Tujuh Belas Agustus Banyuwangi menemukan tingginya angka pencemaran merkuri di Pantai Lampon akibat praktik penambangan tradisional. Jumlah akumulasi merkuri yang ditemukan bahkan mencapai 634,19 ppm atau melebihi deposit merkuri alamiah sebesar 0,1 ppm.

Kawasan muara Lampon sempat menjadi daerah pemilahan bijih emas tradisional tanpa izin sejak tahun 2007 hingga Juni 2011. Sedikitnya ada 15 petambang yang mengoperasikan 60 mesin penggilingan di muara Sungai Lampon. Akumulasi merkuri dalam sedimen muara yang wajarnya hanya 0,1 ppm tercatat mencapai 0,45 ppm di mangrove timur. Adapun di lokasi pengolahan emas mencapai 65,52 ppm. Di bibir muara mencapai 1,17 ppm. Akumulasi merkuri paling tinggi terdapat di timbunan limbah yang tersisa setelah tambang ditutup, yakni 634,19 ppm.

Kandungan merkuri yang tinggi tidak hanya terdapat di tanah dan muara sungai, tetapi juga pada hewan lunak. Pada siput bakau (Terebralia sulcata) ditemukan kandungan merkuri hingga 3,1 ppm, dalam tubuh Nerita argus atau sejenis siput laut ditemukan hingga 3,03 ppm. Di tubuh siput pantai atau Patella intermedia konsentrasi merkuri mencapai 0,44 ppm.

"Kami sarankan tidak mengonsumsi siput dan kerang dari kawasan ini karena bisa berbahaya. Ikan pun kemungkinan bisa tercemar, tetapi belum ada penelitian khusus tentang ini," kata Sintowati.

Adapun Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas meminta agar keberadaan merkuri tidak dikaitkan dengan pertambangan emas. Menurut dia, merkuri pernah juga ditemukan di Muncar, pusat industri pengolahan ikan di Banyuwangi dengan radius 200 meter dari pembuangan limbah. "Merkuri bukan hal yang baru. Karena itu, kami meminta ada instalasi pengolahan limbah terpadu untuk mengatasinya," katanya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com