Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Lebong, Sumber Emas Svarnadwipa

Kompas.com - 20/04/2012, 10:54 WIB

Oleh Prasetyo Eko P dan Ahmad Arif

KOMPAS.com - Terowongan itu menghunjam ke perut Bukit Barisan. Gelap menyergap begitu kaki melangkah ke dalamnya. Air menetes dari langit-langit terowongan tiada henti, lalu menggenangi rel lori peninggalan Belanda yang tak dipakai lagi.

Hariman (40), Adnan Sari (31), dan Malakin (54) berjalan beriringan memasuki terowongan selebar 1,5 meter itu. Kecuali nyala redup lampu yang terpasang di kepala, yang ada hanya gelap gulita.

Semakin dalam memasuki terowongan di Desa Lebong Tandai, sekitar 222 kilometer dari Kota Bengkulu, itu udara kian pengap. Mereka terus melangkah.

Panjang terowongan utama, menurut Hariman, lebih dari 7 kilometer. Terowongan itu bercabang-cabang, seperti labirin. Untuk menembus lorong utama, perlu dua jam jalan kaki.

Setelah 500 meter berjalan, Hariman berbelok ke cabang di sisi kanan. ”Kita menggali di sini saja,” katanya.

Hariman lalu mengeluarkan pasak baja dan palu. Suara besi menghunjam bebatuan menggema di kedalaman bumi, ”Teng... teng... teng....”

Bunyi yang sama telah bergema di terowongan itu, paling tidak sejak 100 tahun lalu. Dalam buku Mining in the Netherlands East Indies (1944), Alex L ter Braake menyebut, perusahaan tambang Mijnbouw Maatschappij Simau membuat terowongan itu pada 1910-an.

Sejak itu, rata-rata setiap tahun 1 ton emas dikeruk dari Lebong Tandai. Pada 1937, misalnya, produksi emas Lebong Tandai mencapai 1.095.538 gram. Periode 1900-1940 daerah ini memproduksi 72 persen dari semua emas Netherlands East Indies dengan total 123 ton.

Sebelum kedatangan Belanda, Lebong Tandai sudah menjadi salah satu penghasil emas di Sumatera sehingga memasyhurkan pulau ini sebagai Svarnadwipa atau Pulau Emas. Jejak penambangan kuno itu terlihat dengan ditemukannya penggilingan batu berusia ratusan tahun. ”Orang sini tahunya itu peninggalan Hindu untuk menggiling emas,” kata Sukmadiharja, warga Lebong.

Sempat dikuasai Jepang pada 1943, terowongan itu kemudian ditambang warga. Pada 1988, PT Lusang Mining mendapat konsesi tambang dan mulai memanfaatkan terowongan itu. Ratusan warga Lebong Tandai pun terusir. ”Warga dipaksa bertransmigrasi,” ungkap Sukmadiharja.

Pada 1994, PT Lusang Mining bangkrut sehingga warga bisa kembali ke tanah mereka dan kembali menambang emas. Kini, jumlah penambang diperkirakan lebih dari 1.000 orang. ”Selain warga desa ini juga banyak pendatang yang tak tercatat,” ujar Komarudin, salah satu petambang.

Dalam seminggu, menurut Sukmadiharja, desa ini bisa menghasilkan emas 500 gram sampai 1 kilogram.

Kemiskinan

Namun, penambangan emas di Lebong Tandai yang sudah berlangsung ratusan tahun ternyata tak mencipta kemakmuran. Selain rel lori, peninggalan Belanda yang tersisa hanya berupa bangunan Kamar Bola (tempat bermain biliar) dan Rumah Kuning (rumah bordil) yang melapuk.

Lori menjadi andalan untuk mencapai Lebong Tandai, selain berjalan kaki sejauh 33 kilometer dari Napal Putih. Warga menyebut lori ini Molek, akronim dari ”motor lori ekspres.” Meski namanya Molek, wujud kendaraan ini sama sekali tak elok. Bentuknya kotak, terbuat dari kayu dengan roda besi, berbangku kayu tanpa alas, dan bermuatan 10 penumpang.

Molek memanfaatkan jalur lori tua peninggalan Belanda yang kondisinya rusak di sana-sini dan beberapa jembatan nyaris roboh. Jika lancar, lama perjalanan sekitar 3,5 jam, tetapi harus siap menginap di tengah hutan jika mesin lori mogok, sebagaimana yang kami alami.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Terkini Lainnya

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com