Salah saru penasihat hukum Antasari, yakni Ari Yusuf Amir, menyampaikan hal itu kepada Kompas, Rabu (16/12), di Jakarta. ”Secara proses hukum, kami akan mengesampingkan rekaman itu,” katanya. Alasannya, dalam kasus pidana, mengacu Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang dimaksud sebagai alat bukti yang sah adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Selain itu, percakapan itu tidak direkam oleh lembaga yang berwenang, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam perkara korupsi. Rekaman percakapan antara Sigit dan Antasari dibuat oleh Sigit sendiri. ”Apa motif Sigit merekam? Ini tidak pernah dikejar jaksa. Kalimat dalam rekaman juga tidak pernah ditanyakan jaksa kepada Sigit. Misalnya, kalimat yang ’perampokan’, ’dengan TKI’, mestinya, kan ditanyakan ke Sigit apa maksudnya karena dia yang bicara soal itu,” kata Ari. Rekaman percakapan yang diduga antara Antasari (A) dan Sigit (S) diputar di Pengadilan Negeri Jaksel, Selasa. Rekaman itu, antara lain, berisikan: A: Nero itu yang saya telepon itu. Ini, kan setting-nya ada persoalan. Kalau ada persoalan tiba-tiba ada kegiatan, kan gampang mengaitkan dengan ini. S: Tapi, ini perampokan, Mas. Perampokan. A: Nah, saya pikir persoalan baru. S: Bukan, ini perampokan barangnya diambil, semua diambil. Ini yang saya setting ini, sudah dua minggu. Nanti dari TKI semua. Yang main anak-anak sini ngrampoknya, tapi eksekutornya anak TKI. Anak TKI begitu eksekutor, dia cabut. Makanya kita butuh ...(tidak jelas). Itu apa untuk olah TKP gitu lho, biar kalau untuk TKP ini misalkan pun harus dikorbankan, yang dikorbankan yang ditangkap itu yang njukuk (mengambil) barang bukan yang eksekusi.