Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

KTNA Tolak Pajak Tambahan, Pemkab Targetkan Produksi Tembakau Naik

Kompas.com - 25/06/2009, 19:22 WIB

BOJONEGORO, KOMPAS.com - Kontak Tani Nelayan Andalan Kabupaten Bojonegoro Menolak pajak rokok tambahan dan cukai yang dipungut oleh daerah. Ketua KTNA Bojonegoro yang juga Wakil Ketua KTNA Jawa Timur Syarif Usman menilai pembahasan Rancangan Undang-undang paja k daerah dan retribusi daerah dan rencana menerapkan pajak rokok tambahan di luar cukai dan pajak pertambahan nilai akan membebani perekonomian petani tembakau. Pemerintah dituntut harus berpikir panjang tentang rencana itu agar jangan menambah beban petani.

Syarif Kamis (25/6) kepada Kompas menyatakan petani yang pertama menanggung dampak penerapan aturan itu. Selain petani penerapan aturan itu juga berdampak pada buruh pabrik rokok yang terkena pengurangan tenaga kerja secara besar-besaran karena penambahan pajak 10-15 persen di luar cukai dan pajak pertambahan nilai (Ppn). Saat ini cukai dan PPN ditetapkan 10 persen. "Tidak menutup kemungkinan pula jika dipaksakan perusahaan rokok mengurangi tenaga kerja hingga menutup usaha," katanya.

Menurut Syarif, untuk memberi tambahan alokasi dana pembangunan daerah, seharusnya melalui penambahan PPN 1-2 persen. Dia menyebutkan hasil cukai rokok dan PPN 2008 mencapai Rp 200 triliun dan target 2009 Rp 223 triliun. Dengan penambahan Ppn 1-2 persen, target itu sudah tercapai. Angka tersebut luar biasa sebagai tambahan APBN, ujarnya.

Dia menambahkan bila pemerintah ingin menambah alokasi dana pembangunan daerah dari rokok, seharusnya melalui menambahan Ppn 1-2 persen. Menambahkan Ppn 1-2 persen itu sudah bisa menambah Rp 20 triliun hingga Rp 40 triliun. Penambahan itu bisa dialokasika n untuk penambahan dana pembangunan daerah secara adil sesuai dengan prosentase daerah penyuplai cukai dan Ppn rokok. Pemerintah seharusnya mengalokasikan penambahan sesuai dengan prosentase daerah penyuplai Ppn dan cukai rokok, bukan dengan mengubah pola yang rancu, katanya menegaskan.

Kalau masing-masing daerah diberi kebebasan bisa melakukan penarikan sendiri-sendiri, terkesan pemerintah pusat tidak mau terbebani pembangunan daerah. Ini kan pemerintah pusat sama saja lari dari tanggung jawab terhadap pembangunan daerah sehingga daera h disuruh mencari dana sendiri. Pemerintah pusat harus mengerti bahwa kondisi ekonomi petani sudah sulit jangan ditambah sulit lagi, papar Syarif.

Selain pajak rokok tambahan oleh daerah membebani petani dan buruh, pola itu menambah kerancuan. Bila masing-masing daerah diberi kebebasan melakukan pungutan pajak tambahan rokok sendiri-sendiri bisa berakibat larinya perusahaan dari daerah tertentu akib at beban pajak yang ada.

Oleh karena itu KTNA Bojonegoro secara tegas menolak penerapan cukai dan pajak rokok tambahan yang dipungut daerah. KTNA Bojonegoro selain menolak juga meminta pemerintah pusat tidak main-main dan harus mengkaji ulang Undang-undang yang akan diberlakukan .  

Saya berpendapat, peningkatan pendapatan dari pajak rokok bisa dilakukan dengan mempermudah perizinan industri rokok skala kecil sebagai industri rumahan. Saat ini kebijakan yang diterapkan mempersulit dan membunuh industri rokok kecil, katanya.

Menurut Syarif KTNA sering menerima keluhan dari home industry rokok kecil di berbagai daerah tentang beratnya memperoleh izin. Itu belum lagi yang tidak bisa berkembang dan terpaksa gulung tikar karena terbentur beban cukai yang mengacu jumlah produksi. Bisa jadi, kata Syarif, munculnya pajak dipungut daerah segera diluncurkan karena kepentingan pabrikan besar. Ini dapat menghambat berkembangnya industri rokok skala kecil, memunculkan monopoli, yang besar makin maju, yang kaya makin kaya, katanya.

Syarif menilai pembahasan Undang-undang oleh DPR RI yang akan memberlakukan pajak tambahan untuk rokok, selain cukai dan Ppn merupakan langkah pemerintah yang semakin memberatkan perekonomian petani tembakau. Penambahan pajak 10-15 persen yang penarikanny a dilakukan pemerintah daerah mulai 2014 akan berdampak pada harga jual tembakau pada petani.  

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com