KOMPAS.com - Jerson Marian (67) menatap sayu pada anak-anak kecil yang bermain dan tertawa riang tanpa beban. Hatinya miris membayangkan masa depan anak-anak itu jika para orangtua mereka tak kunjung lepas dari status pengungsi korban kerusuhan Maluku.
Sejak dua tahun lalu, Jerson bersama sekitar 100 pengungsi lain tinggal di gudang cengkeh milik PT Vita Samudera di daerah Paso, sekitar 15 kilometer arah timur Kota Ambon. Tiga gudang berukuran masing-masing 10 meter x 25 meter itu disulap menjadi ”perumahan” oleh 21 keluarga pengungsi itu.
Ruangan dibagi merata dan disekat-sekat menggunakan tripleks atau kardus. Setiap petak disekat-sekat lagi menjadi kamar-kamar dan dapur mini. Gerah, gelap, dan sumpek.
Jika hujan, air mengucur dari atap yang berlubang-lubang. Di sana juga tidak ada fasilitas mandi, cuci, kakus (MCK) yang layak. Namun, bagi mereka, itu tempat berlindung yang harus disyukuri sebagai nikmat daripada menjadi gelandangan.
”Hidup kami selalu diliputi kecemasan karena bisa diusir kapan saja oleh pemilik gudang. Kalau besok katong diusir, seng tau lai mau pindah ke mana,” ujar Jerson, Kamis (26/3).
Sejak meninggalkan Namlea di Pulau Buru pada 27 Desember 1999, para pengungsi itu sudah tiga kali berpindah barak pengungsian. Pertama kali menginjakkan kaki di Ambon sebagai pengungsi, mereka tinggal di asrama militer OSM. Mereka kemudian digusur ke barak Waemahu yang sudah ditinggalkan oleh pengungsi sebelumnya.
Mereka kembali diusir karena lokasi barak akan dibangun terminal transit angkutan umum. Pada 14 Agustus 2007 mereka terpaksa pindah lagi ke gudang cengkeh milik PT Vita Samudera hingga sekarang. Para pengungsi itu tidak berani pulang
Pada Januari 2007, saat masih di barak Waemahu, mereka memperoleh bantuan bahan bangunan rumah. Setiap keluarga memperoleh semen 40 zak, tripleks 20 lembar, seng 60 lembar, uang tukang, uang pasir