LAMPUNG, KOMPAS.com – Nasib orang siapa yang tahu. Seperti Gunawan Yudistira (60), pensiunan akuntan yang kini harus mengandalkan tenaga untuk menghidupi istri dan tiga anaknya.
Pak Gun, biasa dia disapa, bertubuh tinggi dan agak kurus. Pembawaannya tenang dengan cara bicara perlahan.
“Dari keluarga besar, cuma saya yang mirip orang keturunan,” tutur Pak Gun saat ditemui di sebuah gudang di Jalan Tirtayasa, Sabtu (18/3/2023).
Baca juga: Kisah Edy, 27 Tahun Banting Tulang Jadi Kuli Angkut di Pasar Bukittinggi, Mampu Kuliahkan 4 Anaknya
Gunawan menyebut, ayahnya WNI keturunan Tionghoa dan ibu asli Muara Enim (Sumatera Selatan).
Dari “sisa-sisa” garis wajahnya, terbayang Gunawan mirip “oppa-oppa” Korea.
“Kadang karena muka saya begini, banyak yang menyangka saya banyak uang, padahal mah susah juga,” kata Pak Gun tertawa terbahak.
Gunawan mengaku baru tujuh tahun bekerja sebagai buruh panggul atau kuli angkut.
Di masa mudanya, alumnus S1 Akuntansi Universitas Tarumanegara ini lebih banyak bekerja sebagai konsultan di kantor akuntan di Jakarta. Hampir setengah umurnya dia menjadi konsultan pajak hingga auditor eksternal.
“Mulai kerja (magang) sejak kuliah, begitu lulus ditawari kerja di kantor itu,” kata Pak Gun. Dia segan menyebut nama kantor konsultan itu, karena sudah menjadi bagian masa lalunya.
“Tapi hubungan sama bos-bos lama masih baik, sekadar sapa, tanya kabar,” kata Pak Gun.
Saat memasuki masa pensiun, Gunawan memutuskan “berpetualang” ke Lampung. Berbekal tabungan dia ingin berbisnis minyak kelapa.
Saat itu, Gunawan mendapat tawaran bisnis minyak kelapa yang disebut berpotensi menggantikan posisi minyak sawit.
“Kena tipu saya. Modal udah banyak keluar, tapi bisnis nggak jalan,” kata dia. Total uang yang dia keluarkan menjelang tahun 2016, lebih dari Rp 200 juta.
Modal habis, tabungan menipis, sementara kebutuhan hidup harus terus dipenuhi.
“Mau kerja kantoran lagi, umur sudah segini, jadi ya mau nggak mau, kerja apa saja asal halal,” kata Pak Gun.