KOMPAS.com - Imlek adalah tradisi menyambut tahun baru dalam sistem penanggalan China yang dirayakan oleh masyarakat Tionghoa di seluruh dunia.
Di Indonesia, Imlek juga menjadi hari besar agama Khonghucu dan masyarakat Tionghoa.
Baca juga: Mengenal Perayaan dan Tradisi Imlek di China, Ada Juga Berbagi Angpau
Setelah dikeluarkannya Instruksi Presiden No.14 Tahun 1967, perayaan Imlek sempat hanya boleh dirayakan di lingkungan keluarga dan dalam ruangan tertutup.
Namun setelah Keppres No.6 Tahun 2000 disahkan oleh Presiden Abdurrahman Wahid, masyarakat Tionghoa kembali diberi kebebasan untuk merayakan secara terbuka.
Baca juga: Tradisi Imlek Warga Solo, Ziarah Makam Leluhur hingga Makan Lontong Cap Go Meh
Tradisi perayaan Imlek di Indonesia memang sangat beragam, salah satunya adalah Grebeg Sudiro di Kota Solo.
Baca juga: Ketahui, 8 Tradisi Imlek Paling Populer
Dilansir dari laman surakarta.go.id, Grebeg Sudiro berasal dari pengembangan tradisi Buk Teko yang berlangsung di Kampung Balong, Kelurahan Sudiroprajan, Kecamatan Jebres, Kota Solo.
Seperti diketahui, Kampung Balong adalah permukiman pertama yang dihuni oleh warga keturunan Tionghoa di Kota Solo.
Buk Teko berasal dari istilah setempat yaitu Buk berupa tempat duduk dari semen di tepi jembatan atau di depan rumah, dan Teko yang bermakna poci, tempat air, atau tempat teh.
Dimulai pada tahun 2017, warga di Kampung Balong mencetuskan ide untuk mengembangkan dan memelihara tradisi menjelang Imlek yang sudah berlangsung sejak masa Paku Buwono X berkuasa tersebut.
Layaknya upacara adat serupa di Jawa, istilah Grebeg Sudiro juga memiliki arti tersendiri.
Adapun nama Grebeg Sudiro diambil dari istilah Grebeg atau gumrebeg yang artinya riuh atau keramain, yang juga dimaknai sebagai iring-iringan atau perayaan.
Sedangkan Sudiro, diambil dari nama kelurahan lokasi Kampung Balong yang mayoritas dihuni warga keturunan Tionghoa yakni Sudiroprajan.
Grebeg Sudiro menjadi tradisi Imlek di Indonesia yang terbilang cukup menarik dan unik.
Hal ini karena adanya proses akulturasi yang harmonis antara budaya Jawa dengan budaya masyarakat Tionghoa.
Dilansir dari laman indonesia.travel, salah satu wujud akulturasi tersebut hadir dalam bentuk gunungan.