LAMPUNG, KOMPAS.com - Kepala Kejaksaan Negeri (Kejari) Bandar Lampung Helmi pernah mengalami kejadian unik yang berkaitan dengan keadilan restoratif.
Kantor di mana Helmi bertugas kala itu kemalingan. Namun, Helmi pula yang justru membuat tuntutan para pelaku tidak dilanjutkan.
Ketika itu Helmi masih menjabat sebagai Kepala Kejaksaan Negeri di salah satu kabupaten di Sumatera Selatan.
Baru sampai di kantor, Helmi mendapatkan laporan dari pegawainya kalau kantor kejaksaan itu kemalingan.
Baca juga: Kejari Bima Segera Limpahkan 3 Tersangka Korupsi Bansos Kebakaran Rp 2,3 Miliar
"Ada laporan, kantor kemalingan. Bukan barang berharga hanya besi-besi hollow buat bahan kanopi," kata Helmi akhir pekan kemarin.
Menurut Helmi, nilai kerugian akibat pencurian itu hanya sekitar Rp 400.000. Para pelaku pun diketahui merupakan beberapa pemuda yang tinggal di dekat kantor.
Lantaran nilai kerugian yang tidak seberapa banyak, tanpa pikir panjang, Helmi mengajukan keadilan restoratif kepada para pelaku.
Alasan lain pengajuan keadilan restoratif itu, kata Helmi, atas dasar kemanusiaan.
"Kerugian tidak banyak, pelaku juga anak-anak muda, ya sudahlah, saya ajukan restorative justice, meski saya juga korbannya," kata Helmi sambil terkekeh.
Pengajuan keadilan restoratif itu pun disetujui oleh Kejaksaan Agung.
Bagi Helmi, hukuman pidana untuk perkara-perkara yang ringan adalah jalan terakhir.
Prinsip utama setiap Helmi mengajukan keadilan restoratif adalah asas kemanusiaan (humanisme).
Hingga kini, setelah menjabat sebagai Kepala Kejaksaan Negeri Bandar Lampung, dari 13 perkara yang diajukan mendapatkan keadilan restoratif, 10 perkara telah disetujui.
"Tiga perkara tidak disetujui," kata Helmi.
Keadilan restoratif adalah suatu metode yang secara filosofinya dirancang untuk menjadi suatu resolusi penyelesaian dari konflik yang sedang terjadi dengan cara memperbaiki keadaan ataupun kerugian yang ditimbulkan dari konflik tersebut.