SOLO, KOMPAS.com - Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kementerian Agama (Kemenag) RI, Waryono Abdul Ghofur mengatakan, sudah menerima informasi soal meninggalnya seorang santri salah satu pondok pesantren di Sragen, Jawa Tengah.
Santri tersebut meninggal diduga karena mendapat tindakan keras dari seniornya.
"Iya, kami sudah dapat info dari Pak Kabid bahwa kami sangat menyesalkan dan turut prihatin," kata Waryono ditemui seusai konferensi pers Pekan Olahraga dan Seni antar Pondok Pesantren Tingkat Nasional (Pospenas) IX Tahun 2022 di Balai Kota Solo, Jawa Tengah, Selasa (22/11/2022).
Baca juga: Langgar Aturan Kebersihan, Santri Ponpes Tewas Diduga Dianiaya Senior
Dia pun mengingatkan kepada pengasuh pondok pesantren bahwa hukuman bersifat fisik sudah tidak relevan lagi. Seharusnya hukuman tersebut digantikan dengan menghapal kitab sehingga lebih bermanfaat.
"Kami bersama-sama mengingatkan para pengasuh pesantren bahwa model-model hukuman bersifat fisik itu sudah tidak relevan gitu. Justru kalau pun disebut hukuman itu menghafalkan kitab, kalau yang nggak sadae mumet (pusing) juga. Sehingga kemudian tersadarkan gitu," jelas dia.
"Sudah teridentifikasi memang ada hukuman yang kurang pas," sambung dia.
Waryono menambahkan telah menyerahkan kasus tersebut ke aparat penegak. Menurut dia siapa pelakunya sudah diketahui.
"Kami serahkan kepada aparat hukum karena sudah diketahui juga kan siapa pelakunya gitu," jelas dia.
Lebih jauh Waryono mengaku sudah membuat Peraturan Menteri Agama (PMA) No 73 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di lembaga pendidikan Islam.
Baca juga: Santri Ponpes di Sragen Tewas Diduga Dipukul dan Ditendang, Polisi: Tidak Ada Luka Lebam
Peraturan ini dibuat mengingat masifnya kasus dugaan kekerasan yang terjadi di lembaga pendidikan Islam.
"Makanya kami sudah membuat PMA 73 terkait pencegahan dan penanganan kekerasan terutama kekerasan seksual terutama di lembaga pendidikan Islam. Baik pesantren maupun madrasah atau diniyah. Tinggal nanti bagaimana ke depannya gitu aja," ungkap Waryono.
Menurut dia PMA ini dibuat juga bukan untuk mencegah tindakan kekerasan di tingkat dasar, tepai sampai ke tingkat pendidikan tinggi (universitas).
"Kalau Kemendikbud kan hanya pendidikan tinggi. Kalau kita nggak, untuk semua jenjang (pendidikan)," terang dia.
Diberitakan, santri pondok pesantren (ponpes) berinisial DWW (14) di Kecamatan Masaran, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah, diduga mengalami tindak kekerasan oleh seniornya.
Informasi yang dihimpun, korban menempuh pendidikan selama tiga tahun dan akan lulus Sekolah Menengah Pertama (SMP).