WONOGIRI, KOMPAS.com - Enam tahun silam menjadi hari yang mengejutkan bagi Mbah Sadiman (69), warga Dusun Dali, Desa Geneng, Kecamatan Bulukerto, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah.
Kakek yang tinggal di bawah lereng Gunung Lawu bagian selatan itu mendapatkan trofi Kalpataru, yakni penghargaan utama dalam bidang lingkungan dari Kementerian Lingkungan Hidup yang saat itu diserahkan langsung oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Mbah Sadiman didapuk sebagai sosok yang inspiratif dan pahlawan penghijauan lantaran keberaniannya seorang diri menghijaukan lereng Gunung Lawu bagian selatan.
Perjuangan Mbah Sadiman menghijaukan lereng Gunung Lawu seorang diri yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Magetan, Jawa Timur bukan setahun atau dua tahun saja.
Selama dua dekade lebih, kakek yang memiliki dua cucu ini berjuang keras menanam pohon dari satu titik ke titik lain, hingga akhirnya mencapai ribuan titik di lereng Gunung Lawu bagian selatan. Getolnya Mbah Sadiman menanam pohon di lereng Gunung Lawu bagian selatan bukan tanpa sebab.
Kakek itu mengelus dada ketika melihat warga yang tinggal di bawah lereng Gunung Lawu bagian selatan kesulitan mendapatkan air bersih. Untuk mendapatkan air bersih kala itu warga harus rela mengantre di beberapa titik sumber air.
Sulitnya warga mengakses air bersih saat itu rupanya ada sebab musababnya. Setengah abad silam, kebakaran hebat melanda hutan yang berada di lereng Gunung Lawu bagian selatan itu.
Kondisi itu mengakibatkan lereng hutan di gunung menjadi gundul. Pohon yang ada habis dilalap si jago merah. Tak berhenti disitu, setelah hutan habis terbakar, saat musim hujan banjir air bercampur lumpur meluluhlantakkan aneka pepohonan di hutan.
Usai tragedi kebakaran hutan dan banjir bandang, warga yang tinggal dibawah lereng Gunung Lawu bagian selatan mengalami petaka. Masyarakat banyak yang mengalami kelaparan hingga berujung kematian.
Baca juga: Perjuangan Bhabinkamtibmas Aiptu Nastain Membujuk ODGJ Berbahaya agar Berobat ke RSJ Magelang
“Tahun 1964 dilereng gunung terjadi kebakaran. Banyak kayu yang hilang dan hutan menjadi gundul. Setelah itu terjadi banjir besar disertai lumpur. Usai kebakaran dan banjir melanda, warga yang tinggal dilereng gunung susah mendapatkan air bersih,” ujar Sadiman kepada Kompas.com, Sabtu (23/10/2022).
Tak hanya kesusahan mendapatkan air bersih, petani yang memiliki lahan di lereng pun banyak yang gagal panen. Rata-rata petani hanya mampu memanen satu kali dalam satu tahun.
Kondisi itu menjadikan banyak terjadi kelaparan hingga mendatangkan berbagai penyakit akibat kurang gizi. “Masyarakat banyak yang kelaparan, anak-anak kecil menangis lantaran belum makan. Penyakit aneh seperti cacar air hingga telinganya keluar nanah pun merajalela,” tutur Sadiman.
Banyaknya warga yang kekurangan gizi dan terserang penyakit menjadikan kasus kematian saat itu melonjak tinggi.
Hampir tiap hari bunyi kentongan tanda kematian tak pernah berhenti. Warga pun sampai kewalahan memakamkan jenazah korban kelaparan saat itu.“Saat itu orang belum selesai buat lubang untuk jenazah sudah mendengar kabar ada yang mati lagi,” kata Sadiman.
Sadiman bersyukur dirinya yang saat itu masih kecil bersama keluarganya selamat dari wabah kelaparan yang mematikan. Saat remaja, Sadiman pun berkelana ke berbagai daerah untuk mendapatkan pekerjaan.
Baca juga: Menguak Riwayat Perjuangan M.H Thamrin dari Balik Tembok Museum