MAGELANG, KOMPAS.com - Khitun Muisaroh (30), masih ingat betul, sekitar 2014 silam, ayahnya memberanikan diri meminta dokumen video salah seorang tamunya yang baru saja selesai belajar membuat gerabah di rumahnya di Dusun Klipoh, Desa Karanganyar, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Dokumen video yang berisi aktivitas membuat aneka kerajinan gerabah itu kemudian digandakan oleh ayahnya menjadi beberapa keping Compact Disk (CD). Ayahnya yang bernama Supoyo itu lantas pergi berkeliling sejumlah kota di Jawa Tengah hingga Jawa Timur promosi gerabah Klipoh Borobudur.
"Waktu itu ada rombongan wisata anak-anak SMA yang belajar bikin gerabah di rumah, mereka ngerekam pakai kamera. Bapak memberanikan diri minta kopiannya, lalu digandakan jadi bentuk CD waktu itu. Isinya semacam dokumenter anak-anak SMA lagi belajar bikin gerabah," kata Tun, panggilan Khitun Muisaroh, mengawali cerita di Galeri Arum Art, Desa Karanganyar, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Minggu (16/10/2022).
Baca juga: Tradisi Gerabah pada Masa Prasejarah di Indonesia
Supoyo rela tak pulang selama lebih dari sepekan untuk keliling dari kota ke kota. Kata Tun, ayahnya yang kini berusia 51 tahun itu bahkan hanya tidur di masjid atau mushala di daerah tujuannya.
Kala itu, media sosial belum populer di masyarakat, khususnya di kalangan perajin gerabah di pelosok kawasan Borobudur. CD player masih menjadi salah satu teknologi andalan masyarakat untuk mendapatkan hiburan atau menyimpan dokumen-dokumen tertentu.
"Bapak sampai tidak pulang lebih dari seminggu, beliau door to door dari rumah ke rumah, kantor, sekolah-sekolah, sampai Kudus, sampai Jawa Timur, buat promosi gerabah Borobudur," lanjut Tun.
Usaha promosi door to door yang dilakukan Supoyo membuahkan hasil meskipun belum signifikan. Sedikit demi sedikit ada rombongan wisatawan dari luar daerah yang datang ke rumahnya untuk meminta diajarkan membuat gerabah.
Menurut Tun, perjuangan ayahnya itu merupakan titik awal usaha gerabah Klipoh Borobudur untuk mentranformasi menjadi produk jasa pariwisata.
Sebelumnya, keluarganya, dan mayoritas perajin, sekadar menjual produk-produk gerabah seperti pot bunga, asbak, patung, kuwali, dan sebagainya.
Baca juga: Kisah Rusmadi, 60 Tahun Lebih Bertahan sebagai Perajin Gerabah
"Dulu orangtua saya jualan kuali dipikul keliling Magelang, berat, harganya murah cuma Rp 1.500 sampai paling mahal Rp Rp 5.000 per buah. Selain itu, juga dijual ke tengkulak di pasar. Mereka (tengkulak) biasanya bayar uang muka dulu, kemudian melunasinya dicicil," kisah Tun.
Gerabah telah menjadi penopang ekonomi sebagian besar masyarakat di Dusun Klipoh dan dusun lainnya di Desa Karanganyar, Kecamatan Borobudur.
Mulai dari anak-anak, remaja, hingga lansia bisa membuat gerabah tanah liat. Profesi ini turun temurun sejak masa kerajaan Syailendra abad ke-9 Masehi.
"Gerabah di Desa Karanganyar sudah ada sejak masa kerajaan Syailendra. Aktivitas masyarakat membuat gerabah pun terpahat di relief Candi Borobudur. Dari jaman dahulu sampai sekarang bahan baku tanah liat diambil di desa kami juga, tidak "impor" dari daerah lain," terang Tun.
Usaha gerabah Klipoh Borobudur di sektor wisata semakin menggeliat seiring dengan penetapan kawasan Candi Borobudur yang ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) dan destinasi super prioritas oleh pemerintah.
Sayang, aktivitas perajin gerabah sempat terhenti akibat pandemi Covid-19 melanda global awal tahun 2020. Itu karena pariwisata menjadi salah satu sektor paling terdampak oleh wabah tersebut. Aktivitas wisatawan benar-benar lumpuh kala itu.
Baca juga: Desa Klipoh di Magelang dan Kerajinan Gerabah Warisan Leluhur