Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Pilu Korban Kekerasan Seksual di Sumbawa, Trauma hingga Harus Melahirkan di Usia Dini

Kompas.com - 09/09/2022, 13:29 WIB
Susi Gustiana,
Andi Hartik

Tim Redaksi

SUMBAWA, KOMPAS.com - Butuh waktu bertahun-tahun bagi D (29) untuk menyembuhkan trauma. Sampai sekarang, tubuhnya masih bergetar tiap mengingat masa kelam itu.

Sambil menerawang, D berusaha menahan tangis. Sesekali ia mengambil napas dalam, terkenang bagaimana getirnya hidup yang dijalani, sebagai penyintas perkawinan anak yang kemudian menjadi korban Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT).

D menikah di usia 17 tahun, saat masih duduk di bangku kelas 11 salah satu SMK di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB). Ia terpaksa menikah dini lantaran kehamilan yang tidak diinginkan (KTD). Ia menjadi korban pemerkosaan yang kemudian dinikahi oleh pelaku.

Alih-alih hidup bahagia, kekerasan demi kekerasan justru mendera hidupnya.

Baca juga: Petinggi Parpol di Sulteng Diduga Lakukan Kekerasan Seksual dan Pemaksaan Aborsi, Korban Lapor Polisi

“Saya sering ditampar, dipukul hanya karena hal-hal sepele seperti salah membeli obat atau masakan kurang enak,” kata D di Sumbawa, Senin (5/9/2022).

“Bahkan, kerap kali saat banyak tetangga melihat, ia tetap memukul saya,” katanya dengan terbata-bata.

D pernah melaporkan kasus KDRT itu ke Polres Sumbawa. Namun, kasus itu tidak dilanjutkan karena ia memutuskan menjadi Pekerja Migran Indonesia (PMI) tanpa menunggu hasil penyelidikan polisi.

Baca juga: Kuasa Hukum Bantah Tuduhan Kekerasan Seksual di Sekolah SPI, Bawa Bukti Foto hingga Rekaman Video

D juga tidak menggunakan jasa pengacara kala itu karena tidak punya cukup uang untuk membayar pengacara.

Dua tahun setelah anaknya lahir, D bercerai dengan A (30) mantan suaminya. Kemudian F (8) putri D diasuh oleh sang nenek.

Kini, D sudah menikah lagi dan hidup bahagia. Namun, ketika mantan suaminya menjenguk anaknya, ia kerap menghindar. D masih ketakutan, badannya bergetar tiap kali bertemu dengan mantan suaminya itu.

D ingin segera mendapatkan hak asuh anak agar mantan suaminya tidak lagi membawa anaknya pergi semaunya. Ia khawatir anaknya mengalami trauma di masa depan.

Halaman:


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com