Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Stigma Negatif dan Diskriminasi Jadi Kendala Utama Pencegahan HIV/AIDS

Kompas.com - 25/08/2022, 18:50 WIB
Muhamad Syahrial

Penulis

KOMPAS.com - Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Bandung, dr. Ira Dewi Jani membeberkan sejumlah penyebab tingginya kasus HIV/AIDS di Ibu Kota Provinsi Jawa Barat (Jabar) tersebut.

Menurut Ira, penyebab utama kasus HIV/AIDS di Kota Bandung hingga tahun 2021 secara umum adalah heteroseksual, atau hubungan antara laki-laki dengan perempuan.

"Bisa dengan pasangan, bisa dengan yang bukan pasangan, jadi kita tidak bisa ya bilang itu gara-gara seks bebas," kata dr. Ira saat dihubungi Kompas.com, Kamis (25/8/2022).

"Pokoknya menurut data, yang menempati urutan terbanyak di Kota Bandung itu dari heteroseksual, hubungan seksual antara laki-laki dengan perempuan," imbuhnya.

Baca juga: Ratusan Mahasiswa di Kota Bandung Positif HIV, Dinkes: Itu Data Kumulatif Selama 30 Tahun

Stigma negatif dan diskriminasi terhadap pengidap HIV/AIDS juga turut menyulitkan upaya penanggulangan penyakit tersebut.

Pasalnya, masyarakat menjadi enggan untuk melakukan tes HIV karena malu atau takut dicap buruk oleh orang-orang di sekitarnya.

Padahal, dia menjelaskan, penularan HIV bukan hanya disebabkan oleh perilaku seks bebas atau penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif (napza).

"Padahal penularan HIV dari orang ke orang selain oleh faktor-faktor tersebut, ada juga yang disebabkan oleh penularan dari ibu ke anak, atau pekerjaan seperti kami yang nakes ini kan juga sebetulnya berisiko," paparnya.

"Jadi tidak selalu HIV itu timbul karena melakukan kegiatan seksual berganti-ganti pasangan, atau penyalahgunaan napza dengan berganti-ganti jarum suntik, kan bisa juga oleh faktor lain," ungkapnya.

Baca juga: Kasus HIV di Kota Bandung Tertinggi di Jabar, Ini Penyebab dan Gejalanya

Ilustrasi HIV/AIDS.Shutterstock/mikeforemniakowski Ilustrasi HIV/AIDS.

Ira menuturkan, pengidap HIV tidak menunjukkan tanda atau gejala spesifik, seperti kurus, kerap sariawan, atau sering diare.

Satu-satunya cara untuk mengetahui seseorang terjangkit HIV/AIDS atau tidak adalah dengan cara melakukan tes di fasilitas kesehatan terdekat.

"Jadi tidak bisa kita menstigma, apalagi menuduh 'wah ini HIV', karena harus diperiksa untuk tahu statusnya.," ujar Ira.

Normalisasi tes HIV/AIDS

Oleh sebab itu, Ira menekankan pentingnya menormalisasi tes HIV/AIDS di tengah masyarakat.

"Tes (HIV/AIDS) harusnya dinormalisasi karena kita tahu penularannya tidak cuma karena berhubungan seks secara berganti-ganti pasangan dan penasun (pengguna narkoba suntik)," kata Ira.

Baca juga: 5 Daerah dengan Kasus HIV/AIDS Tertinggi di Jabar, Bandung Terbanyak, Diikuti Bekasi

Menurutnya, pemeriksaan terkait HIV/AIDS saat ini seharusnya tidak menjadi hal tabu lagi bagi masyarakat.

"Periksa HIV itu harusnya sama mudahnya dengan periksa darah," tegasnya.

Ira mengimbau agar masyarakat menjauhi stigma dan diskriminasi terhadap para pengidap HIV/AIDS untuk memudahkan tindak pencegahan penularan penyakit tersebut.

"Jauhi stigma dan diskriminasi, hindari penyakitnya bukan orangnya, karena dengan menghilangkan stigma dan diskriminasi maka akses ke layanan kesehatan akan lebih mudah, kalau akses ke layanan lebih mudah berarti kita lebih bisa mencegah daripada mengobati," pungkasnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com