Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Antonius Ferry Timur
Konsultan

Konsultan dan pemerhati pendidikan dasar, Direktur Yayasan Abisatya Yogyakarta

Pluralisme di Sekolah Negeri di Jogjakarta

Kompas.com - 04/08/2022, 11:45 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

YOGYAKARTA kembali dihebohkan dengan masalah perundungan dan kekerasan di sekolah. SMAN Banguntapan 1 Bantul, Yogyakarta diduga melakukan pemaksanan memakai jilbab sehingga menimbulkan depresi pada seorang siswinya.

Pemaksaan tersebut disertai intimidasi dan pelecehan verbal sehingga menimbulkan trauma. (Kompas.com, 30 Juli 2022).

Meski pihak sekolah sudah mengklarifikasi bahwa sekolah tidak melakukan pemaksaan pemakaian jilbab, namun Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan DI Yogyakarta mendapatkan data dokumen Surat Pemberitahuan Daftar Ulang di SMA Negeri 1 Banguntapan, Kabupaten Bantul.

Salah satu poinnya berisi permintaan membawa uang untuk membayar jilbab berlogo. Selain itu, ada salinan panduan tiga jenis seragam siswi yang semua contoh modelnya disertai atribut jilbab.

Peristiwa di atas tentu semakin mengukuhkan adanya tiga dosa besar di dunia pendidikan, yakni perundungan, kekerasan seksual dan intoleransi.

Terlebih peristiwa ini terjadi di sekolah negeri, di Yogyakarta, yang merupakan kota pelajar, kota budaya yang kaya dengan nilai-nilai adiluhung dan pluralisme, maka sangatlah memprihatinkan.

Sekolah negeri di Yogyakarta dan di Indonesia semestinya menjadi sekolah yang menjunjung pluralisme, menjadi ruang publik yang bisa diakses oleh semua golongan tanpa rasa takut.

Kejadian ini menjadi pengingat hasil penelitian Setara Institut tentang kota paling toleran di Indonesia (Tempo, 10 Desember 2018), yang menempatkan Singkawang, Kota Salatiga dan Pematang Siantar berada di urutan tiga besar.

Kota toleran dalam studi indexing ini adalah kota yang memiliki beberapa atribut, yaitu: adanya regulasi yang kondusif bagi praktik dan promosi toleransi, pernyataan dan tindakan aparatur pemerintahan kota tersebut yang kondusif bagi praktik dan promosi toleransi, tingkat peristiwa dan tindakan pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan serta kota tersebut menunjukkan upaya yang cukup dalam tata kelola keberagaman identitas keagamaan warganya (setara-institute.org).

Penelitian ini sungguh menarik dan menggugah kembali kesadaran masyarakat Jogyakarta yang kini disinyalir mulai meninggalkan toleransi yang menjadi ciri khas dan kearifan lokal masyarakat tradisional Jawa.

Manusia Jogja punya falsafah “Petruk kanthong bolong”, yakni manusia yang menempatkan dirinya sebagai masyarakat kecil yang mau menyerap berbagai informasi dan segala perbedaan dari pihak manapun untuk diolah secara arif.

Petruk kanthong bolong adalah falsafah manusia humanis yang toleran dan terbuka bagi sesamanya.

Makna lebih luas dari falsafah Petruk Kantong Bolong adalah orang yang selalu “nulung marang sesami, ora nganggo mikir wayah, waduk, kantong Yen ana isi lumuntur marang sesami” — seperti ibarat kantong yang bolong, maka apapun yang masuk ke dalam kantong yang diterima dari limpahan anugerah Allah akan mengalir terus ke sesama manusia.

Artinya ilmu kantong bolong adalah ilmu tentang kedermawanan dan keikhlasan.

Orang yang menguasai ilmu kantong bolong tidak akan pernah takut dan bersedih, sebab ia sudah sampai apda maqam haqqul yaqin bahwa dirinya hanyalah “alat” atau “saluran” yang dipakai dan digerakkan Allah untuk memenuhi Kehendak-Nya. Demi Dia dan karena Dia.

Anugerah Allah pada hakikatnya selalu mengalir tiada habis, namun manusia tidak sadar karena ditipu oleh ego, nafsu dan setan, sehingga mereka “menutup kantong”.

Mereka berusaha memenuhi kantong-kantong sendiri (mengikuti hawa nafsu sendiri) dalam arti bahwa mereka “mengklaim” telah dan bisa “memiliki” segala sesuatu yang sesungguhnya hakikatnya adalah dari Allah.

Mereka merasa memiliki sesuatu dan karenanya berhak “menyimpannya” dalam kantong tertutup.

Itulah sebabnya, ilmu Kantong Bolong termasuk ajaran penting dalam tradisi kesufian yang disimbolkan dalam idiom-idiom Jawa: sekali lagi ajaran tentang kedermawanan dan keikhlasan dan keyakinan.

Jogja multietnik

Sejak dulu Jogja itu bagaikan Petruk kanthong bolong, beragam etnik dan kultur tinggal di tempat ini, kota yang ditumbuhi aneka bunga berwarna-warni. Akan tetapi, jika keragaman itu tidak dikelola dengan baik, konflik akan mudah pecah.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com