KOMPAS.com - Bulan Suro dianggap sakral oleh masyarakat Jawa. Salah satu mitos bulan Suro adalah pantang menggelar pernikahan.
Terkait hal itu, Andrik Purwasito, budayawan Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Jawa Tengah, memberikan pandangannya.
Guru besar dalam bidang Ilmu Komunikasi Lintas Budaya UNS Surakarta ini mengatakan, Suro adalah awal tahun Jawa yang diciptakan oleh Sultan Agung dengan dasar mengikuti perhitungan peredaran bulan Kamariah.
Baca juga: Mengapa Bulan Suro Identik dengan Kirab dan Jamasan Pusaka? Ini Penjelasan Budayawan
Dalam penanggalan tersebut terdapat 12 bulan, yakni Suro, Sapar, Mulud, Bakdamulud, Jumadilawal, Jumadilakhir, Rejeb, Ruwah, Pasa, Sawal, Dulkangidah, dan Besar.
"Setiap bulan dalam perhitungan tahunan Jawa mempunyai kekuatan spiritual yang berkorelasi dengan peruntungan nasib seseorang," ujarnya kepada Kompas.com, Minggu (31/7/2022).
Andrik mencotohkan, dalam bulan Besar, sering digunakan masyarakat untuk menggelar pernikahan.
Baca juga: Sambut Bulan Suro, Nelayan Pantai Jati Malang Gelar Sedekah Laut
Pasangan pengantin yang menghelat pernikahan pada bulan tersebut diharapkan akan mendapat peruntungan yang besar dalam kehidupannya, misalnya, memiliki keturunan yang sempurna dan rezeki yang melimpah.
Akan tetapi, saat memasuki Suro, masyarakat mempercayai adanya pantangan menggelar pernikahan di bulan tersebut. Andrik mengatakan, pantangan itu dipercaya berkaitan dengan adanya ritual yang dijalankan oleh Keraton Mataram.
"Wulan Suro pada umumnya merupakan pantangan bagi pernikahan karena bulan itu digunakan oleh Karaton Mataram untuk hajatan dan berbagai ritual gaib. Ini untuk menjaga eksistensi dan relasi kuasa jagad wadag dan jagad alus," ucapnya.
Baca juga: Tradisi Grebek Suro di Lumajang, Ada Gunungan Hasil Bumi hingga Kubur Kepala Sapi