SEMARANG, KOMPAS.com - Bertahannya seni dan kebudayaan di suatu wilayah, tak lepas dari peran suatu komunitas. Begitu pula Kota Semarang, ada satu wadah yang membantu mengembangkan geliat seni kota, Kolektif Hysteria namanya.
Komunitas yang berdiri pada 11 September 2004 ini menaungi anak-anak muda Semarang dari berbagai kelompok bidang seni.
Awalnya, Kolektif Hysteria hanyalah satu kelompok penerbitan zine (media alternatif) di bidang sastra. Namun seiring berjalannya waktu, Co-Founder Kolektif Hysteria, Adin, beserta kawan-kawannya mengubah kelompok ini sebagai komunitas berbasis seni dan budaya.
Baca juga: Pesona Wisata Sungai dan Seni Budaya di Desa Pandean Trenggalek
Bukan tanpa alasan Adin dan kawan-kawannya itu mendirikan Kolektif Hysteria. Adanya komunitas ini, diinisiasi atas dasar minimnya ruang gerak anak-anak muda Semarang pecinta seni.
Melihat isu dan kebutuhan yang berkembang, akhirnya pada 2008, Kolektif Hysteria mulai aktif melakukan diskusi, pameran, pertunjukan, pemutaran film, festival, dan tentu mengenai seni dan budaya.
Adin menuturkan, Kolektif Hysteria disebut sebagai laboratorium dan creative impact hub di Kota Lumpia. Artinya, suatu ruang yang melibatkan banyak jaringan, komunitas, dan merangkak ke banyak bidang.
"Kami selalu melakukan eksperimen terus menerus. Tidak hanya seni visual, tapi juga bentuk, artistik, dan wilayah garapan. Jadi tidak bisa diidentifikasi sebagai komunitas seni apa," jelas Adin saat ditemui Kompas.com, Kamis (14/7/2022).
Lebih mudahnya, tambah Adin, Kolektif Hysteria digambarkan dengan empat kata kunci. Yaitu, seni dan kreativitas, anak muda, isu kota, serta komunitas dan kolektif.
Sehingga, geliat seni yang dibangun oleh komunitas ini dapat merangkul khalayak luas.
Baca juga: Minggu Semata Wayang, Upaya Lestarikan Seni Budaya Nusantara
Lebih menarik lagi, Kolektif Hysteria memilih kota sebagai lokus utama. Menurut pria lulusan Universitas Diponegoro itu, kota memiliki isu-isu kompleks yang perlu diperhatikan dan diubah.
"Merubah kota ini melalui praktik-praktik kecil yang sebenarnya bisa diabstraksi sebagai pilot project. Karena ada kebutuhan dengan isu konten lokal, relevansi, dan signifikansi," tutur dia.
Tak heran, Kolektif Hysteria sudah masuk ke sejumlah kampung di Kota Semarang, seperti Bustaman, Petemasan, Bergota, Karangsari, Sendangguwo, Jatiwayang, dan Randusari untuk menghidupkan eksistensi seni dan kebudayaan.
“Hysteria itu tidak tumbuh di ruang kosong. Dia besar dan tumbuh di Semarang, jadi sudah sewajanya berkontribusi terhadap kota,” ucap Adin.
Tidak hanya itu, Kolektif Hysteria juga pernah melebarkan ruang kreatif ke beberapa wilayah seperti Klaten, Rembang, Tangerang Selatan, hingga Jakarta.
Baca juga: Anies: JIS Dirancang untuk Kegiatan Olahraga, Seni, Budaya, Agama, Hingga Sosial
Aksi yang dibawa ke sejumlah kampung itu, direalisasikan dengan cara berkolaborasi membuat buku, katalog, pameran, pertunjukan, seminar, diskusi panelis, membuka forum-forum kecil, hingga mengadakan festival.
"Yang penting warga terartikulasikan, apa yang menjadi keinginan mereka itu tersampaikan," jelas Adin.
Terhitung, program yang telah dilakukan Kolektif Hysteria dalam menciptakan ruang kreatif seni dan kebudayaan sudah lebih dari 1000 program.
Dengan itu, Adin, yang kini dipercaya menjadi Ketua Komite Ekonomi Kreatif Provinsi Jawa Tengah, berharap, adanya aksi-aksi kecil ya g dibawa anak muda Semarang, bisa lebih mengembangkan kreatifitas dengan tidak meninggalkan ideaitas.
"Walaupun masih suram suram kukuh, sekarang Semarang sudah lebih berkembang," pungkas dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.