JAMBI, KOMPAS.com - Harga sawit di tingkat petani semakin melorot sampai Rp 400 per kilogram dalam sepekan terakhir.
Sejumlah petani kebingungan dengan banyaknya pabrik yang tutup dan harga yang semakin memburuk.
Untuk bertahan hidup, sebagian petani memilih kerja serabutan, lalu membiarkan sawitnya tumbuh tanpa perawatan dan pemupukan.
"Terpaksa kerja serabutan untuk tetap makan. Yang bikin pusing, anak mau masuk sekolah. Kalau harga gak naik-naik, terpaksa utang lagi sana sini," kata Affandi, warga Desa Jambi Kecil Kabupaten Muarojambi, Minggu (26/6/2022).
Baca juga: Tak Ada Kapal Pengangkut, Harga Sawit di Bangka Belitung Anjlok
Dengan harga Rp 400 per kilogram, Affandi mengaku tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari, terutama petani yang hanya memiliki luas kebun 1-2 hektar.
Rendahnya harga sawit, tidak berpengaruh kepada biaya buruh panen. Artinya, untuk memanen kebun sekitar 1 ton, dirinya membutuhkan bantuan 1 pekerja dengan bayaran Rp 200.000 per ton panen.
"Biaya kuli tetap. Sedangkan harga turun terus. Kalau punya pilihan lain, lebih baik dibiarkan busuk di batang," kata Affandi.
Menurut dia, untuk menyambung hidup saat harga sawit terjun bebas, dirinya jadi buruh bangunan atau menyadap karet.
Pengepul atau toke sawit, Ahmad Muaz di Kecamatan Mandiangin, Kabupaten Sarolangun menyatakan berhenti membeli sawit petani.
Pasalnya banyak pabrik tutup. Kalau pun ada yang buka, harga belinya sekitar Rp 500-700 perkilogram.
"Banyak toke-toke sawit kecil yang gulung tikar. Kalau beli sawit petani terus, kita rugi. Jadi kita tidak membeli sawit petani lagi, karena pabrik tutup dan harganya murah," kata Muaz.
Baca juga: Harga TBS Sawit di Jambi Menyedihkan, Anjlok hingga Rp 700 Per Kg
Kerugian toke sawit seperti dirinya terletak pada transportasi. Dengan selisih harga di tingkat petani dan pabrik yang tipis, para toke tidak mendapatkan keuntungan bahkan mengalami kerugian.
Berhentinya toke membeli sawit, membuat sawit petani membusuk di pohon.
"Toke tidak mau beli lagi sawit. Sawit kita sudah banyak yang busuk di batang," kata Supri Aten, petani sawit dari Sarolangun.
Saat ini, harga murah membuat petani banyak yang sulit untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Untuk mencari pekerjaan lain juga tidak mudah.