INGAT Candi Borobudur ingat Daoed Joesoef (almarhum). Kenapa hal ini saya kaitkan?
Alasannya, Daoed Joesoef sendiri mengakui telah terjadi keterikatan secara fisik dan idiil antara dirinya dengan Candi Borobudur.
Hal ini berawal ketika Daoed Joesoef sekolah dan bermukim di Yogyakarta pada 1946-1949, tetapi kontak fisik pertama Daoed Joesoef dengan Borobudur terjadi pada 1953.
Pada saat mereka tiba di candi tersebut, Daoed Joesoef melihat dengan jelas keadaan Candi Borobudur waktu itu tampak menyedihkan, mengenaskan.
Tanahnya mulai miring, semak belukar hampir menutupi setiap sudut candi, kusam, relief yang serba miring dipenuhi lumut, arca banyak yang rusak, kotoran burung di sana-sini, sampah di mana-mana berserakan.
Kondisi Candi Borobudur tampak rusak parah, bisa jadi sewaktu-waktu akan runtuh begitu saja.
Tanah yang mulai melesak, ditambah cuaca panas dan hujan yang menggerus setiap hari. Apalagi kelak diketahui bahwa candi ini tidak memiliki fondasi.
Daoed tercenung melihat warisan budaya nasional ini. Mungkin tanpa disadari bahwa kunjungannya ini kelak membawanya kepada panggilan sejarah bahkan bisa dibilang suratan takdir (destiny).
Semasa Daoed Joesoef masih hidup, beberapa kali saya berkunjung ke rumahnya di daerah Kemang. Rumah yang asri, luas, dan ada SD Kupu-kupu yang dikelola anaknya.
Kedatangan saya ke rumahnya pada waktu itu berkaitan dengan beberapa buku yang siap diterbitkan Penerbit Buku Kompas.
Di antaranya buku Emak, Studi Strategi, Rekam Jejak Anak Tiga Zaman, Aneka Masalah Kehidupan Bersama, Borobudur, Teman Duduk.
Pertemuan terakhir saya dengan Daoed Joesoef ketika merevisi buku Borobudur. Dari sinilah saya ketahui secara langsung keterlibatan Daoed Joesoef dalam pemugaran Candi Borobudur, baik ketika bernegosiasi dengan UNESCO maupun pelaksanaan pemugaran hingga selesai.
Daoed Joesoef bersyukur secara langsung ikut menangani usaha penyelamatan Candi Borobudur.
Bagaimana awal Daoed Joesoef ikut menangani pemugaran ini? Ketika itu Daoed Joesoef sedang kuliah di Universitas Sorbonne, Paris.