Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Gregorius Nyaming
Pastor

Mahasiswa S3 jurusan teologi dogmatik di The John Paul II Catholic University of Lublin

Gawai Adat Dayak: Melihat Manusia sebagai Makhluk Berdimensi Vertikal dan Horizontal

Kompas.com - 21/05/2022, 08:15 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

BEBERAPA waktu yang lalu, seperti yang kita ketahui bersama, masyarakat Dayak sempat merasa tersinggung dan marah atas pernyataan yang disampaikan sekelompok orang ketika mengomentari rencana pemindahan ibu kota negara ke Kalimantan.

Mereka menjadi tersinggung dan marah karena pulau tempat mereka tinggal dan hidup dikatakan sebagai tempat jin buang anak. Hanya monyet yang mau tinggal di sana.

Ketika mendengar pernyataan tersebut, saya langsung teringat dengan salah satu tokoh dalam Kitab Suci seperti yang dikisahkan dalam Injil Yohanes 1:43-51. Natanael namanya.

Dikisahkan suatu kali Filipus bertemu dengannya dan berkata: "Kami telah menemukan Dia, yang disebut oleh Musa dalam Kitab Taurat dan oleh para nabi, yaitu Yesus, anak Yusuf dari Nazaret."

Mendengar perkataan Filipus, Natanael langsung mengajukan sebuah pertanyaan sinikal: "Mungkinkah sesuatu yang baik datang dari Nazaret?"

Mendengar pertanyaan Natanael itu, Filipus hanya berkata: "Mari dan lihatlah!"

Nazaret itu hanyalah sebuah kota kecil. Tidak terkenal. Tidak heran kemudian Natanael menjadi sinis ketika mendengar Mesias yang akan datang, yang telah disebut Musa dalam Kitab Taurat dan telah dinubuatkan para nabi, berasal dari Nazaret.

Sekelompok orang di Jakarta itu nampaknya berada seposisi dengan Natanael. Mengetahui bahwa ibu kota yang baru akan dipindahkan ke Kalimantan - sebuah pulau yang dalam benak mereka hanya hutan belantara dan hanya monyet yang mau tinggal di sana - mereka pun memandang rendah dan hina.

Bila hendak dirumuskan seturut pertanyaan Natanael, mereka mau bertanya: "Mungkinkah sesuatu yang baik itu datang dari Kalimantan?"

Untuk menjawabanya saya hanya mau mengulang apa yang dikatakan Filipus kepada Natanel: "Mari dan lihatlah!"

Dan lewat tulisan ini, saya mau mengundang siapa saja yang berkehendak baik untuk melihat bahwa manusia Dayak itu tidak seburuk seperti yang dipikirkan.

Serta untuk melihat bahwa ada banyak hal baik di pulau Kalimantan. Sebuah pulau yang dihuni oleh 7 rumpun suku Dayak (Ngaju, Apo Kayan, Iban, Klemantan, Murut, Punan dan Ot Danum) dan 405 sub-suku.

Gawai adat Dayak

Bertepatan dengan sudah tibanya musim gawai Dayak (tradisi syukuran setelah panen) dan bertepatan dengan dibukanya Pekan Gawai Dayak ke-XXXVI pada 19 Mei 2022 di Rumah Radank Pontianak, saya akan menjadikan tradisi syukuran ini sebagai titik berangkat.

Disebut juga sebagai pesta tutup tahun atau pesta syukur setelah panen, gawai adat Dayak merupakan puncak dari seluruh proses perladangan dalam suku Dayak.

Pesta adat yang sakral dan penting ini menjadi momen bagi para peladang untuk mengucap syukur kepada Yang Ilahi (Jubata Yang Agung) atas hasil ladang serta atas berkat dan perlindungan-Nya selama bekerja di ladang.

Sebagai sebuah bentuk ungkapan syukur, gawai adat selalu diadakan dengan penuh sukacita dalam semangat kebersamaan.

Oleh karena itu, sebuah kampung yang akan mengadakan gawai adat akan mengundang keluarga dan kerabat kenalan untuk datang bertandang.

Hadirnya sanak keluarga dan kerabat kenalan tentulah akan semakin menambah semarak suasana pesta. Membuat suasana gawai adat semakin meriah.

Kemeriahan tentu menjadi bagian yang tak terpisahkan dari gawai adat Dayak. Akan tetapi, ia bukanlah menjadi tujuan utamanya.

Dengan mewariskannya kepada generasi sekarang, para leluhur ingin mengingatkan bahwa tujuan fundamental dari gawai adat ialah mengucap syukur kepada Jubata dan menikmati hasil jerih payah berladang dalam semangat kebersamaan.

Manusia: makhluk berdimensi vertikal dan horizontal

Di dalam tujuan fundamental itu, sejatinya terkandung apa yang menjadi hakikat atau jati diri manusia, yakni sebagai makhluk berdimensi vertikal dan horizontal.

Humanisme transendental dari Karl Rahner, teolog asal Jerman, atau kemanusiaan yang beriman dari mendiang Bapak Jakob Oetama, merupakan istilah lain untuk menggambarkan hakikat manusia tersebut.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com