BANDUNG, KOMPAS.com - Cucu Sophia (23) bisa bernapas lega, putrinya yang kini berusia 2 tahun itu, hasil pernikahan dengan Dani Ruswandi (25) negatif thalasemia.
Rasa syukur itu bukan tanpa alasan, pasalnya Cucu mengatakan, pengidap thalasemia seperti dirinya di Majalaya, Kabupaten Bandung, bukan hanya kesulitan mendapatkan darah beserta fasilitasnya, namun juga harus mengalami diskriminasi.
Cucu bercerita, saat itu usianya baru genap menginjak 10 tahun. Dokter di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) memvonis dirinya mengidap thalasemia, saat itu pula perjalanan berat harus ia mulai.
Baca juga: Sumbang Kasus Thalasemia Terbanyak di Jawa Barat, Kabupaten Bandung Krisis Unit Transfusi Darah
"Kalau dulu kan gak tau ini thalasemia, dokter bilangnya ini anemia. Karena dulu kan di RS Majalaya belum mempuni lah penanganan nya, dari sana di arahkan ke RSUD Hasan Sadikin, cuma karena di sana biaya mahal dan kendaraan juga akhirnya memutuskan di RS Majalaya saja, berapapun biayanya orang tua siap karena kan deket," kata Cucu ditemui di lokasi donor darah di Majalaya, Sabtu (26/2/2022).
Tidak sampai disitu, Cucu yang membutuhkan transfusi golongan darah A ini harus merasakan tekanan sosial. Tidak hanya dari tetangga atau masyarakat umum, bahkan lingkaran terkecilnya pun, keluarga, menempatkan Cucu di posisi marjinal.
Padahal, kata Cucu, thalasemia itu tidak menularkan lewat udara melainkan melalui genetika.
"Ada banyak, bahkan saudara sendiri. Sampai bilang kalau minum jangan satu mulut, memang penyakit ini menular tapi bukan lewat udara atau apa, thalasemia kan menularnya dari gen," katanya.
Sebetulnya, kebutuhan darah bagi Cucu bisa saja terpenuhi, andai saja lingkaran keluarganya yang memungkinkan memiliki golongan darah yang sama mau menjadi donor aktif.
Namun sayang, harapan itu harus gugur terhalang oleh telinga yang tiba-tiba tertutup ketika mendengar Cucu divonis thalasemia.
Baca juga: Thalasemia: Penyebab, Gejala, dan Jenis
Ditambah sejak dulu sampai hari ini, di Majalaya Kabupaten Bandung, belum di bangun Unit Transfusi Darah (UTD). Padahal, UTD adalah simpul dari harapan para pengidap thalasemia.
"Saya butuh golongan darah A, kasarnya kalau mau gampang kan ada keluarga yang paling tidak golongan darahnya sama, tapi tetap saja semua tutup kuping," ucap Cucu.
"Saya sekarang yang donor suami, ayah, sama suami kaka. Ya, lingkaran paling kecil saya juga banyak yang tutup kuping, ada yang gak mau tau," tambahnya.
Masa depan pengidap thalasemia pun masih dihantui ketidakpastian. Ketika akan merajut pernikahan, rasa khawatir menurunkan penyakit yang sama terus membayangi mereka.
Hal itu dialami oleh Cucu. Ia mengatakan sempat khawatir mewarisi hal yang sama. Keraguan dan rasa waswas membuatnya takut. Sampai-sampai sang ibu meminta mereka untuk menunda untuk memiliki momongan.
"Kalau pas nikah gak ada kendala apapun, orangtua ngikut aja yang penting katanya saya bahagia. Merasa takut iya, mamah yang bilang jangan dulu punya anak, tunda aja dulu nanti beberapa tahun lagi aja," jelasnya.