BANJARMASIN, KOMPAS.com - Kota Banjarbaru secara resmi menggantikan Kota Banjarmasin sebagai ibu kota Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel).
Rancangan Undang-undang (RUU) pemindahan Ibu Kota Kalsel itu telah disahkan DPR RI beberapa waktu lalu.
Namun beberapa kalangan di Kalsel menilai regulasi itu sangat rentan digugat ke Mahkamah Konstitusi (Kalsel).
Salah satu yang menilai hal tersebut datang dari M Pazri selaku Presdir Borneo Law Firm dan juga sebagai pemerhati kebijakan publik.
Baca juga: Tak Ada Uji Publik, Wali Kota Banjarmasin Pertanyakan Pemindahan Ibu Kota Kalsel ke Banjarbaru
Pazri sepakat keberadaan UU Nomor 25 Tahun 1956 jo UU Nomor 21 Tahun 1958 tentang Penetapan UU Darurat Nomor 10 Tahun 1957 menjadi dasar pembentukan Daerah Swantara (Provinsi) Tingkat I Kalsel harus direvisi.
Menurutnya, secara historis Provinsi Kalsel berdiri pada 1 Januari 1957 dengan dasar UU Nomor 25 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Otonom Provinsi Kalsel, Kalimantan Barat (Kalbar) dan Kalimantan Timur (Kaltim).
Sebelumnya, tiga provinsi itu menjadi satu di bawah satu Provinsi Kalimantan hingga pada 23 Mei 1957, Provinsi Kalsel pun dipecah menjadi Provinsi Kalsel dan Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng) dengan dasar terbitnya UU Darurat Nomor 10 Tahun 1957 tentang Pembentukan Daerah Provinsi Kalteng.
"Sebab secara yuridis, dasar pembentukan Provinsi Kalsel dinilai telah kedaluwarsa (out of date) karena dibentuk menggunakan UUDS Tahun 1950 sehingga muatannya dianggap tak sesuai dengan perkembangan ketatanegaraan terkini," ujar Pazri dalam keterangan resminya yang diterima, Senin (21/2/2022).
Baca juga: Banjarbaru Resmi Gantikan Banjarmasin sebagai Ibu Kota Provinsi Kalsel
Namun, setelah mencermati dan membaca UU Provinsi Kalsel yang baru disahkan pada 15 Februari 2022, Pazri menilai banyak menuai polimek.
Seperti Pasal 4 Ibu Kota Provinsi Kalsel berkedudukan di Kota Banjarbaru.
Menurutnya, dalam UU Kalsel yang baru disahkan terkesan tidak mengakomodasi landasan filosofis, landasan sosiologis, landasan yuridis, kebutuhan Kalsel sangat tidak lengkap serta ke depan akan menimbulkan ketidakpastian hukum.
"UU yang baru disahkan hanya delapan Pasal dan terdiri dari Bab I Ketentuan Umum, Bab II Cakupan wilayah,ibu kota dan karakteristik dan Bab III ketentuan Penutup," jelasnya.