KOMPAS.com - Masyarakat Suku Melayu dikenal sebagai salah satu masyarakat di Indonesia yang suka berpantun.
Tradisi pantun masyarakat Melayu dapat dilihat dari sejumlah acara adat mereka, mulai pernikahan hingga panen hasil bumi.
Pantun sendiri merupakan bentuk puisi dalam kesusastraan Melayu yang paling dikenal oleh masyarakat.
Bahkan di masa lalu, masyarakat Melayu menjadikan pantun sebagai pelengkap pembicaraan sehari-hari.
Selain itu, pantun juga digunakan oleh pemuka adat dan tokoh masyarakat saat menyampaikan pidato.
Pantun biasanya diucapkan sebagai media untuk menyampaikan nilai-nilai luhur budaya masyarakat.
Dalam sejumlah catatan disebutkan bahwa naskah asli Perhimpunan Pantun Melayu pertama kali diterbitkan pada tahun 1877.
Hal itu menegaskan betapa berakarnya tradisi pantun di kalangan masyarakat Melayu.
Naskah Perhimpunan Pantun Melayu itu diterbitkan oleh W Bruining di Batavia.
Dalam naskah itu, pantun diartikan sebagai puisi empat seuntai atau kuatren yang berirama silang.
Pantun Melayu memiliki struktur teks yang sama seperti pantun lainnya, ditandai dengan adanya rima akhir baris yang berpasangan.
Bagi masyarakat Melayu, pantun merupakan khazanah lisan yang terdiri dari empat baris yang mandiri dengan skema rima “a-b-a-b”.
Dua baris pertama pada pantun merupakan pembayang, sedangkan dua barus berikutnya merupakan isi.
Bagian pembayang biasanya berupa unsur alam, sedangkan bagian isi merujuk kepada perasaan, pemikiran, maupun perbuatan manusia.
Sebagai media untuk menyampaikan nilai-nilai luhur budaya, pantun di masyarakat Melayu memiliki banyak macam.