KOMPAS.com - Aceh dikenal sebagai provinsi berstatus Daerah Istimewa yang memilik keistimewaan yang berbeda dengan daerah lain.
Salah satu keistimewaan itu adalah penerapan hukum-hukum Islam dalam kehidupan sosial di Provinsi Aceh.
Di antara hukum-hukum Islam yang diterapkan di Aceh adalah hukum cambuk.
Hukuman ini diberikan kepada seseorang yang melakukan perzinahan atau hubungan intim secara ilegal.
Hukuman Cambuk di Aceh diterapkan setelah provinsi ini mendapatkan izin secara konstitusional untuk menerapkan hukum Islam.
Izin tersebut tertulis dalam tiga undang-undang, yaitu UU Nomor 44/1999 tentang keistimewaan Aceh, UU 18/2001 tentang otonomi khusus di Aceh.
Serta UU Nomor 11 Tahun 2006 tetang pemerintah Aceh.
Namun UU 18/1999 tentang keistimewaan Aceh diganti dengan UU Aceh Nomor 11 Tahun 2006.
UU baru ini merupakan hasil dari MoU Helsinki yang diteken pada 15 Agustus 2005, sebagai akhir Konflik Aceh.
Dalam UU baru itu diatur beberapa hal, salah satunya penerapan syariat Islam yang diberlakukan sesuai tradisi dan norma di Aceh.
Pembahasan tentang hukuman cambuk di Aceh tidak dapat dipisahkan dari pengaruh ajaran Islam di Bumi Rencong sendiri.
Islam sebagai agama sudah dianut oleh mayoritas suku dan masyarakat di Aceh.
Sementara syariat Islam sendiri sudah diterapkan di Aceh sejak abad ke-17 Masehi.
Syariat Islam itu kemudian menjadi landasan perundang-undangan yang diterapkan sehingga melahirkan masyarakat dan budaya Aceh yang Islami.
Meski demikian, syariat Islam di Aceh pernah ditinggalkan pada abad ke-20 sebagai konsekuensi kehidupan berbangsa dan bertanah air.