Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Harga Pupuk Melejit, Kebun Kopi di Bengkulu Ditinggalkan Petani

Kompas.com - 19/01/2022, 12:05 WIB
Firmansyah,
Abba Gabrillin

Tim Redaksi

BENGKULU, KOMPAS.com - Kebun kopi di Kecamatan Topos, Kabupaten Lebong, Provinsi Bengkulu, mulai ditinggalkan petani, karena para penggarap tak sanggup membeli pupuk non-subsidi dan racun pembunuh gulma.

"Saat ini kami terpaksa meninggalkan kebun kopi, karena mahalnya harga pupuk dan racun gulma. Perkebunan kopi di Lebong untuk menyingkirkan gulma tidak bisa manual, karena gulma yang tinggi dan berbatang keras. Sementara racun gulma harganya mahal, naik 100 persen," kata Mariono, petani di Kecamatan Topos saat berbicara kepada Kompas.com, Rabu (19/1/2022).

Baca juga: Seorang Warga Bengkulu Tewas Diduga akibat Diserang Babi Hutan

Mariono mengatakan, dalam kondisi normal, hasil panen kopi di kecamatannya bisa mencapai 700 ton per tahun yang dijual ke Provinsi Lampung.

Ada ratusan petani menggantungkan hidup dari berkebun kopi.

Namun, tingginya harga pupuk mengakibatkan mahalnya operasional pertanian kopi.

Hal itu yang membuat ratusan petani di lokasi itu perlahan mulai meninggalkan kebun kopi dan mencari mata pencarian lain.

Menurut Mariono, kenaikan pupuk mencapai 100 persen pada tiap jenis pupuk dan racun gulma itu terjadi sejak dua bulan terakhir.

Baca juga: Banyak Petani Kopi Tanpa Sengaja Tersangkut Hukum, Ini Kata Bupati Bener Meriah

Petani kopi di Kabupaten Kepahiang bernama Likwan menjelaskan, sejak pandemi, petani tidak menggunakan pupuk karena mahal.

Akibatnya, hasil panen turun drastis mencapai 30 persen.

"Sejak pandemi, petani tidak pernah menggunakan pupuk. Berdampak hasil panen berkurang mencapai 30 persen," kata Likwan.

Pupuk subsidi telat

Tidak saja soal mahalnya pupuk non-subsidi. Pupuk subsidi juga kerap kali telat datang.

Sebagai contoh, menurut Mariono, pada kalangan petani sawah, kebutuhan pupuk non-subsidi diperlukan dua hari setelah menanam.

Namun, pupuk subsidi baru ada di tingkat penjual sekitar satu bulan setelah tanam.

Hal ini berpengaruh pada kualitas padi dan hasilnya.

"Pupuk subsidi sering telat. Dia (pupuk) tidak langka, namun tiba di petani saat yang tak tepat. Begitu pula bantuan bibit padi pemerintah sering telat. Masa tanam telah lewat, bantuan bibit baru tiba," kata Mariono.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com